Labels

Senin, 02 Juli 2012

MADRASAH NIZAMIYAH, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA



I.              PENDAHULUAN
Madrasah merupakan ciri khas dalam pendidikan dunia Islam. Banyak orang yang memandang sebelah mata apabila dikenalkan nama pendidikan Islam. Menurut sebagian orang, pendidikan Islam kalah kualitas dibandingkan pendidikan umum. Benarkah ?
Tentunya, mereka yang berpandangan demikian karena belum pernah membaca sejarah Islam secara utuh. Pada pertengahan abad kedelapan Masehi atau abad kedua Hijriyah, merupakan masa-masa keemasan Islam (The Golden Ages of Islam). Kondisi ini berlangsung pada masa kekhalifahan Islam di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah (133-656 H/750-1258 M). Saat itu, dua per tiga bagian dunia dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Selain itu, tradisi keilmuan berkembang pesat. Berbagai sumber menyebutkan, masa kejayaan Islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Dia adalah khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada 786 M hingga 809 M.

Salah satu puncak pencapaian yang membuat nama Khalifah Harun al-Rasyid melegenda adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa kepemimpinannya, terjadi penerjemahan sejumlah karya dari berbagai bahasa. Inilah yang menjadi titik awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada era itu pula, beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban mulai berkembang. Perkembangan tersebut berkat dorongan pemerintah saat itu yang menyediakan berbagai fasilitas dan memberikan kebebasan intelektual para siswanya.
Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa itu dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, dilakukan penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, Suriah, dan India ke dalam bahasa Arab. Ribuan buku yang diambil dari perpustakaan-perpustakaan lama, dibawa ke Irak (pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah–Red) untuk diterjemahkan dan sejumlah perpustakaan baru didirikan. Gerakan penerjemahan ini berlangsung dari tahun 750-850 M.
Kedua, karya-karya yang diterjemahkan itu kemudian diberi komentar oleh para sarjana Islam. Teori-teori yang ada diberi penjelasan dan disesuaikan dengan ajaran Islam. Melalui renungan, pengamatan, penelitian, dan eksperimen (percobaan), para tokoh Muslim dapat melahirkan teori-teori dan konsep-konsep baru. Dari kegiatan ini, mereka menghasilkan ribuan karya tulis dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Ketiga, didirikan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi, seperti Baitul Hikmah (perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masa itu), Majelis al-Manazarah, dan Madrasah Nizhamiyah. Selain itu, masjid-masjid, istana, dan rumah para sarjana difungsikan sebagai tempat belajar.[1]
Pada tulisan ini kami menghususkan membahas mengenai sejarah dan perkembangan Madrasah Nizamiyah, asal usul pendirinya serta berbagai keunggulannya.

II.           PEMBAHASAN

A.     Sejarah Pendiri Madrasah Nizamiyah, Nizam Al-Mulk
Nizam al-Mulk (Radkan, Tus, 10 April 1018 – Sihna, 14 Oktober 1092) adalah seorang perdana menteri Dinasti Salajikah (Seljuk) pada masa pemerintahan Sultan Alp Arslan dan Sultan Maliksyah. Nama aslinya Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ishaq at-Tusi. Dia pernah ke Nisabur dan menuntut ilmu pada ulama’ Mazhab Syafi’i, Hibatullah al-Muwaffaq. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintahan Gaznawi di Tus, Khurasan. Ketika sebagian besar Khurasan jatuh ke tangan pasukan Salajikah, ayahnya dengan membawa Nizam al-Mulk lari ke Khusrawijrd dan seterusnya ke Gazna. Di Gazna, Nizam al-Mulk bekerja pada sebuah kantor pemerintah Mahmud Gaznawi.
Namun tiga atau empat tahun kemudian ia meninggalkan Gazna dan menuju ke daerah kekuasaan Salajikah. Pada mulanya ia bekerja di Balkh yang dikuasai Salajikah (tahun 432 H/1040-1041 M), kemudian pindah ke Marw. Kariernya meningkat dengan cepat sehingga ia ditarik ke istana Sultan Arp Arslan dengan perdana menterinya Abu Ali Ahmad bin Syazan. Ketika perdana menteri ini meninggal dunia, Nizam al-Mulk ditunjuk oleh Sultan sebagai perdana menterinya.
Dalam jabatannya sebagai perdana menteri ini ia menunjukkan kecakapannya sebagai negarawan yang terpercaya. Untuk memelihara stabilitas negara ia menasihatkan Sultan agar memberi lapangan pekerjaan kepada pengungsi-pengungsi Turki yang datang ke Persia (Iran) akibat kemenangan Dinasti Salajikah, dan meningkatkan kekuatan tempur angkatan bersenjata Salajikah serta gerak cepatnya untuk menumpas pemberontakan, tetapi pemberontak yang menyerah harus diampuni. Kemudian dinasti juga harus mempertahankan penguasa-penguasa lokal, baik Syiah maupun Sunni, dan menunjuk keluarga Bani Seljuk sebagai gubernur-gubernur. Nizam al-Mulk juga bertindak menghindari perebutan kekuasaan setelah meninggalnya sultan, dengan cara mengumumkan dan menunjuk Maliksyah sebagai putra mahkota yang akan menggantikan sultan. Hubungan dengan Khilafah Abbasyiah sebagai penguasa tertinggi dunia Islam ketika itu juga dijalin dengan baik oleh Nizam al-Mulk sehingga ia mendapat penghargaan dari Khalifah al-Qa’im dari Abbasyiah berupa gelar Qiwam ad-Din (Pendukung Agama) dan Radi Amir al-Mu’minin (yang meridhai dan pemimpin orang-orang beriman).
Nizam al-Mulk tetap menjadi perdana menteri Dinasti Salajikah, bahkan setelah Alp Arslan terbunuh pada tahun 165 H/1072 M dan digantikan oleh Maliksyah. Perannya pada masa Sultan Maliksyah bertambah besar dibanding sebelumnya. Ia dipercaya oleh Sultan Maliksyah, yang ketika naik tahta berumur 18 tahun, untuk mengatur pemerintahan dan menjalankan keputusan politik. Oleh Sultan ia diberi gelar Ata Beq, artinya amir yang dianggap ayah. Ia tetap menjalankan politik kerjasama dan taat kepada Khalifah Abbasyiah, diantaranya dengan mengawinkan sorang putrinya kepada Khalifah Abbasyiah, ketika itu al-Muqtadi bin Amr Allah.
Nizam al-Mulk juga dikenal sebagai perdana menteri yang berpaham Asy’ariyah dan mengusahakan penyebarannya melalui madrasah-madrasah di beberapa kota dalam wilayah Salajikah. Madrasah terkenal yang didirikannya adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad, yang diresmikan pada tahun 459 H/1067 M. menurut Philip K. Hitti, Madrasah Nizamiyah merupakan contoh awal dari perguruan tinggi yang menyediakan sarana belajar yang memadai bagi para penuntut ilmu. Diantara ulama’ yang mengajar di Madrasah Nizamiyah adalah Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, Syekh Abu Nasr bin as-Sabbagh dan Syekh Abu Mansur bin Yusuf bin Abdul Malik. Cabang-cabang Nizamiyah kemudian juga didirikan di hampir kota di Irak dan Khurasan.
Usaha Nizam al-Mulk mendirikan madrasah dan lembaga keagamaan lainnya mendapat dukungan dari ulama’-ulama’ yang bermazhab Syafi’i dan dalam teologi beraliran Asy’ariyah. Para ulama tersebut bergembira dengan naiknya Nizam al-Mulk dan kebijaksanaannya mengembalikan nama baik ulam-ulama Asy’ariyah yang dikutuk oleh Perdana Menteri al-Kunduri pada masa Sultan Tugril Beq. Pada masa al-Kunduri aliran Asy’ariyah bersama dengan Rafidah dikutuk melalui mimbar-mimbar masjid, sehingga banyak ulama’ yang melarikan diri, seperti Imam al-Haramain Abu Ma’ali al-Juwaini dan al-Qusyairi. Ulama-ulama baru mau kembali ke negeri mereka setelah Nizam al-Mulk menjadi perdana menteri dan melarang pengutukan Asy’ariyah di mimbar-mimbar masjid.
Disebutkan dalam al-Kamil fi at-Tarikh (Sejarah Lengkap) bahwa Nizam al-Mulk adalah seorang alim, agamawan, dermawan, adil, penyantun, suka memaafkan orang yang bersalah, banyak diam, majelisnya ramai didatangi para qari, faqih, ulama dan orang-orang yang suka kebaikan dan kebajikan. Ia juga dikatakan menyampaikan hadits di Baghdad, Khurasan dan kota lainnya dengan alasan ikut berpartisipasi menyebarkan hadits Nabi SAW, sekalipun ia mengakui bahwa ia bukan ahli hadits. Dikatakan pula ia senang menjamu dan menghibur orang-orang fakir miskin. Pada tahun 479 H (1086-1087 M) ia menghapuskan khumus (pajak yang tidak dikenai sanksi syariat), dan meningkatkan sarana dan prasarana bagi mereka yang menunaikan ibadah haji. Setelah Hedzjaz kembali kepada kekuasaan Abbasyiah dari kekuasaan Fatimiyah pada tahun 468 H/1076 M, ia mengamankan jalur perjalanan haji dari Irak ke Tanah Suci dengan memberantas perampok-perampok yang mengancam jama’ah haji. Selain itu, ia memprakarsai perluasan Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah, serta pendirian tempat-tempat khusus bagi para abid, zahid dan faqih, serta pendirian rumah sakit di Nisabur.
Setahun sebelum meninggal, pada tahun 484 H/1091 M ia menulis kitab Siyaset-Name (buku mengenai politik) tentang siasat p0emerintahan, berisi 50 bab nasihat yang digambarkan melalui anekdot-anekdot sejarah. Pada tahun berikutnya, ia menambah 11 bab tentang bahaya yang mengancam negara utamanya dari kaum Qaramithah Ismailiyah. Ia mengingatkan bahaya yang mengancam keutuhan Salajikah yang datang dari kaum Qaramithah yang pada tahun 483 H (1090-1091 M) menyerbu kota Basra, dan bermarkas di benteng yang kokoh di Alamut. Kaum ini mempunyai pasukan pembunuh yang disebut Hasyasyin dan dipimpin oleh Hasan bin Sabbah, yang bertujuan menghidupkan Fatimiah. Seorang pasukan Hasan bin Sabbah, yang menyamar sebagai sufi, berhasil membunuh Nizam al-Mulk di Sihna, Nahawand, ketika ia dalam perjalanan dari Isfahan ke Baghdad. Nizam al-Mulk terbunuh pada tanggal 10 Ramadhan 485 H/14 Oktober 1092.[2]

B.     Sejarah Madrasah Nizamiyah
Sebelum berdirinya Madrasah Nizamiyah di Baghdad, paling tidak ada empat madrasah besar di Nishapur, yaitu Madrasah Baihaqiyyah, Madrasah Assa’diyyah yang dibangun oleh Amir Nasr bin Subuktakin, Madrasah Abu Sa’ad al-Astarabadi dan Madrasah yang didirikan untuk Abu Ishaq al-Isfarayini. [3]
Madrasah Nizamiyah adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan pada tahun 1065-1067 oleh Nizam al-Mulk. Madrasah Nizamiyah ini pada mulanya hanya ada di kota Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu itu. Madrasah Nizamiyah ini didirikan dekat pinggir sungai Dijlah, di tengah-tengah pasar selasah di Baghdad. Mulai dibangun pada tahun 457 H/1065 M) dan selesai dibangun pada tahun 459 H (dua tahun lamanya baru selesai).[4] Pada masa itu, madrasah tersebut dicatat sebagai tempat pendidikan yang paling masyhur. Kemudian Nizam al-Mulk mengembangkan madrasah tersebut dengan membuka dan mendirikan madrasah serupa di berbagai kota, baik di wilayah barat maupun timur dari daerah kekuasaan Islam. Diantaranya didirikan di kota-kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mosul, Basra dan Tibristan. Oleh karena itu, kota-kota tersebut kemudian menjadi pusat-pusat studi keilmuan dan menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu. Para pelajar berdatangan dari berbagai daerah untuk mencari ilmu di madrasah-madrasah Nizamiyah tersebut. Kesungguhan Nizam al-Mulk dalam membina madrasah-madrasah yang didirikannya itu tercermin pada kesediaannya menyisihkan waktunya untuk melakukan kunjungan ke madrasah-madrasah Nizamiyah di berbagai kota tersebut. Disebutkan, bahwa dalam kesempatan kunjungannya tersebut, ia dengan penuh perhatian ikut menyimak dan mendengarkan kuliah-kuliah yang diberikan, sebagaimana ia juga kadang ikut mengemukakan pikiran-pikirannya di depan para pelajar di madrasah itu.
Lembaga pendidikan Islam yang pertama menerapkan sistem yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal sekarang adalah madrasah-madrasah Nizamiyah tersebut. Kurikulumnya berpusat pada Al-Qur’an (membaca, menghafal dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi SAW dan berhitung, dengan menitikberatkan pada madzhab Syafi’i dan sistem teologi Asyariyah. Seorang tenaga pengajar di Nizamiyah selalu dibantu oleh dua orang pelajar (mahasiswa) yang bertugas membaca dan menerangkan kembali kuliah yang telah diberikan kepada mahasiswa yang ketinggalan (asistensi). Sistem belajar di Madrasah Nizamiyah adalah : tenaga pengajar berdiri di depan ruang kelas menyajikan materi-materi kuliah, sementara para pelajar duduk dan mendengarkan di atas meja-meja kecil (rendah) yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan dialog (tanya-jawab) antara dosen dan para mahasiswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan tinggi.
Status dosen di madrasah tersebut ditetapkan berdasarkan pengangkatan dari khalifah dan bertugas dengan masa tertentu. Untuk menunjukkan betapa madrasah ini mencoba mengembangkan diri menjadi suatu lembaga pendidikan yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Sesudah Nizam al-Mulk membuka madrasah-madrasah Nizamiyah di banyak kota, ia menetapkan untuk memberi gaji setiap bulan bagi setiap tenaga pengajar di madrasah-madrasah tersebut. Namun kebijaksanaan Nizam al-Mulk tentang gaji tersebut belum bisa diterima oleh para tenaga pengajar di Madrasah Nizamiyah. Mereka lebih suka tanpa digaji tetapi kesejahteraan hidupnya terjamin. Bagi para dosen gagasan untuk menggaji guru pada masa itu dipandang sebagai suatu gagasan yang terlalu maju.
Diantara kekuatan Madrasah Nizamiyah adalah bahwa madrasah tersebut mendapat pengakuan negara. Madrasah Nizamiyah telah mencatat nama-nama besar dan orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar. Di antara mereka adalah :
1.      Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, seorang faqih Baghdad
2.      Syekh Abu Nasr as-Sabbagh
3.      Abu Abdullah at-Tabari
4.      Abu Muhammad asy-Syirazi
5.      Abu Qasim al-Alawi
6.      at-Tibrizi
7.      al-Qazwini
8.      al-Fairuzabadi
9.      Imam al-Haramain Abdul Ma’ali al-Juwaini
10.  Imam al-Ghazali [5]

C.     Profil Dosen Nizamiyah, Abdul Ma’ali Al-Juwaini Sang ‘Cahaya Agama’
Dia sebagai guru besar di Madrasah Nizaminah, tempat di mana Imam al-Ghazali pernah menimba ilmu. Ia dijuluki Imam Haramain karena pernah tinggal di dua kota suci, Makkah dan Madinah.
Ulama ini bernama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwanini An-Nisaburi. Dia dilahirkan di Bustanikan, Nisabur, pada 12 Pebruari 1058. Pendidikan pertamanya didapatkan dari ayahnya yang bernama Syekh Abdullah, seorang keturunan Arab berdarah bangsawan. Di samping itu, Al-Juwaini juga menimba ilmu di sekolah agama yang berada di wilayah tempat tinggalnya.
Setelah beberapa lama, Al-Juwaini memutuskan untuk meninggalkan Nisabur dan pergi ke Baghdad, terutama untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Di sana ia pun menerima pengajaran ilmu agama dari beberapa ulama terkemuka. Berkat bimbingan para guru dan keinginannya untuk maju, Al-Juwaini tumbuh menjadi seorang terpelajar yang menguasai beberapa ilmu.
Setelah beberapa tahun tinggal di kota ilmu itu, ia lalu pindah ke Makkah serta Madinah, selain untuk menambah bekal ilmu juga mulai mengajar. Selama lebih kurang empat tahun Al-Juwaini menetap di dua kota suci tersebut.
Nama Al-Juwaini lambat laun dikenal di kalangan ulama dan pengajar ilmu agama di Makkah serta Madinah. Ini lantaran ditunjang kemampuan penguasaan keilmuaannya yang mumpuni. Hingga selanjutnya, namanya sampai ke telinga Perdana Menteri Nizam al-Mulk, penguasa dan pendiri Madrasan Nizamiyah di Nisabur, tempat kelahirannya.
Secara pribadi, Nizam al-Mulk meminta kesediaan Al-Juwaini untuk kembali ke negerinya dan menjadi tenaga pengajar di madrasah tadi. Permintaan ini pun disanggupi oleh Al-Juwaini sebagai bentuk sumbangsihnya dalam memajukan pendidikan di negeri sendiri.
Madrasah Nizamiyah pun kian diperhitungkan di kalangan terpelajar Timur Tengah. Terlebih ketika Imam al-Ghazali diketahui pernah menimba ilmu di sana dan tercatat merupakan lulusan perguruan ini yang diasuh Juwaini.
Pemuka ulama ahlusunnah wal jamaah dan pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari ini juga disebut Abdul Ma’ali untuk menunjukkan keutamaannya sebagai ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Diya ad-Din, yang berarti cahaya agama adalah gelar lain yang diberikan kepada al-Juwaini karena kelebihannya dalam menerangi hati dan pikiran para pembela akidah Islam, yang karenanya menangkis serangan para pengikut golongan sesat yang telah terjerumus dalam kegelapan.
Al-Juwaini juga menonjol di kalangan ulama Asy’ariyah karena memiliki metode yang khas dalam membela paham Sunni. Dia berpendapat, akidah yang benar adalah yang didasarkan pada akal dan naql serta kombinasi antara keduanya.
Akal itu cahaya Allah yang sifatnya fitrawi sebagai tanad kecintaan Allah kepada kepada manusia dan untuk menjadi media bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan an-naql adalah semata-mata perkara daya serap pendengaran yang wajib diyakini kebenarannya tanpa memerlukan pembuktian akal atasnya. Karena pendiriannya tersebut, Al-Juwaini banyak disebut sebagai generasi keempat dari pemuka dan ulama Asy’ariyah, sejajar dengan Al-Baghdadi dan Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi.
Pandangannya bahwa akal dan penalaran akan sanggup mengantar manusia kepada keyakinan mantap membawanya pada pendirian bahwa penggunaan penalaran dalam soal agama adalah wajib menurut syarak. Karena kekhasan metodenya itu pula maka ia tidak selalu mengikuti pendapat para pendahulunya, sampai Imam Abu Hasan Asy’ari sekalipun.
Di samping sebagai pengajar dan ahli ilmu agama, Al-Juwaini adalah pula seorang penulis yang produktif. Pandangan dan pendapatnya mengenai suatu persoalan agama kerap diungkapkannya dalam bentuk karya tulis. Tercatat, sudah puluhan buku serta karya ilmiahnya yang sudah dihasilkan meliputi beberapa cabang keilmuan.
Ulama ini meninggal dunia di Bustanikan pada tanggal 20 Agustus 1085. Sampai akhir hayatnya, ia dikenal sebagai pakar ilmu fikih, ushul fikih, dan ilmu kalam. Kitab karyanya tetap dipelajari hingga saat ini.
Kitab-kitab Karya Al Juwaini

Ushul fikih
* Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Argumentasi dalam Usul Fikih) * Al-Waraqat (Sehelai Kertas)

Fikih
* Nihayat al-Matlab fi Dirayat al-Mazhab (Rujukan yang Tuntas dalam Ilmu Mazhab)

Ilmu kalam
* Al-Kamil fi-Ikhtisar asy-Syamil (Kitab yang Sempurna dalam Ikhtisar yang Mencakup)
* Risalah fi Usul ad-Din (Risalah Tentang Dasar Agama)
* Nizamiyah fi al-Arkan al-Islamiyah (Sistematika Rukun-Rukun Islam).[6]
D.    Perkembangan dan Strategi Madrasah Nizamiyah
Hal yang membuat lembaga-lembaga pendidikan Madrasah Nizamiyah signifikan dalam sejarah Islam adalah bahwa mereka semua penganut mazhab Syafi’iyyah dan berada di Nishapur, sebuah tempat penting untuk memahami kerangka politik, khususnya yang berhubungan dengan konflik internal Sunni antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Dua kelompok besar ini merupakan gerakan keagamaan yang paling berpengaruh di Nishapur pada paro pertama abad ke-11. sejarawan ahli masa klasik dan pertengahan dari Amerika, Bulliet, menyebut mereka sebagai tokoh-tokoh yang meramaikan Nishapur selama dua abad. Ini tidak berarti bahwa kelompok Qarramiyyah (Qaramithah), Syiah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah tidak mempunyai peran.[7] Pemberian perhatian khusus kepada dua raksasa itu berdasarkan alasan bahwa keduanya telah memainkan peran penting dalam bernegosiasi dengan pemerintah pusat Baghdad. Bajkan, al-Kunduri, salah seorang wazir Seljuk sebelum Nizam al-Mulk terkenal sebagai penganut Hanafiyyah yang congkak. Adapun Nizam al-Mulk, wazir Seljuk yang terbesar dan termasyhur terkenal sebagai Syafi’iyyah tulen.
Ada beberapa petunjuk yang memperlihatkan konflik mereka. ‘Asabiyyah atau ta’assub yang berarti fanatisme pada ajaran khusus keagamaan mereka bukanlah hal yang baru di dunia Islam, baik pada abad ke-10 maupun pada abad ke-11. ‘Abd ar-Rahman as-Sabuni dihukum mati tahun 900 H atas dasar fanatisme mazhab. Kecenderungan semacam ini juga bisa ditemukan dalam kelompok Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Mereka berkompetisi dalam memperoleh posisi keagamaan di pemerintahan, yakni sebagai qadli, shaikh al-Islam, juga dalam mendirikan madrasah-madrasah untuk mempersiapkan ulama-ulama masa depannya.
Jarangnya terjadi pernikahan antarmereka juga merupakan point penting yang mempertajam ketegangan. Bisa dipahami bahwa perkawinan antarkelompok pada dasarnya berpotensi meredam konflik, menyebabkan transfer kekayaan, kekuatan dan nilai-nilai sosial keagamaan yang paling asasi. Tatkala perkawinan antarkelompok ini hilang dari sebuah komunitas yang heterogen seperti yang terjadi dalam panggung sejarah ini, mudah diterka bahwa kohesi sosial dalam keragaman mazhab menjadi kurang solid.
Konflik ini lebih jelas bila disepakati bahwa semua Syafi’iyyah adalah Asy’ariyyah yang akan menjadi aliran teologi terpenting di hari kemudian. Kelompok yang terakhir ini tidak hanya berhadapan dengan Mu’tazilah, tetapi juga bersitegang dengan Hanbaliyyah pada abad ke-11. pada abad ini Asy’ariyyah agaknya berhasil mengakhiri pengaruh Mu’tazilah. Dua abad sebelumnya, ketika pengaruh Mu’tazilah demikian besar, al-Mutawakkil (salah seorang Khalifah Abbasyiah Baghdad 232 H/847 M) menghukum mereka secara dahsyat. Al-Juwaini dan al-Ghazali (meninggal 1111 M)[8] adalah dua contoh utama pendukung Ash’ariyyah yang berhasil mengasingkan ide-ide Mu’tazilah di masyarakat.
Kembali ke faksi Sunni, sesungguhnya faksi itu lebih merupakan masalah manajemen pertentangan yang ada antarkelompok. Pada tingkat tertentu polaritas ini memburuk karena perpanjangan penguasa. Karena Nishapur merupakan daerah subur, berpenduduk banyak dan beberapa ulama penting ada di situ, pemerintah pusat di Baghdad memberikan perhatian khusus terhadap daerah ini. Tatkala Nishapur dibawah pemerintahan Ghaznawiyah sebelum jatuh selamanya ke tangan Seljuk tahun 1039 M, patronasi (patronage) penguasa berganti-ganti antara Hanafiyyah dan Qarramiyyah. Aliansi temporer ini terus berlangsung selama pemerintahan Seljuk. Hanafiyyah dan Syafi’iyyah adalah dua kekuatan utama yang bersaing dalam merebut simpati pemerintah. Pada tahun 1048 M persekusi resmi terhadap Syafi’iyyah oleh al-Kunduri, wazir Seljuk, dimulai. Mulai tahun ini sampai meninggalnya al-Kunduri (1064 M), yang dihukum mati secara rahasia karena kesalahannya menentang pengganti Tugril Beg, Alp Arslan, NAishapur didominasi oleh Hanafiyyah dengan intens.
Dari segi kemampuan politik strategis, al-Kunduri terlalu lemah jika dibandingkan dengan Nizam al-Mulk. Al-Kunduri tidak pernah berestimasi bahwa persekusinya terhadap Syafi’iyyah akan menghasilkan “musuh-musuh besar” di kemudian hari, seperti Imam al-Haramayn dan Abu Sahl Muhammad bin Imam al-Muwaffaq.
Seperti al-Kunduri, Nizam al-Mulk juga memanfaatkan rivalitas yang ada diantara faksi-faksi. Perbedaannya adalah kecermatan Nizam dalam mendekati masalah dan estimasinya yang brilian. Tidak diragukan lagi bahwa Nizam cerdik-cendekia dan bijak dalam menyelesaikan setiap persoalan. Karyanya mengenai persoalan-persoalan pemerintahan yang bias kit abaca sampai sekarang merupakan salah satu buktinya. Selama 20 tahun pemerintahan Maliksyah, kekuasaan Nizam benar-benar mutlak. Dialah penguasa riil di Kerajaan Seljuk, sebuah posisi yang juga diidam-idamkan oleh al-Kunduri tetapi ia gagal meraihnya.
Pada hari kemenangan Nizam al-Mulk, keputusan sepenuhnya berada di tangannya. Sebagai politisi yang bijak dan ulung, dia memilih cara memeperoleh simpati masyarakat dengan cara memperbanyak Madrasah Nizamiyah, memanfaatkan ulama-ulama Syafi’iyyah dan memperkuat institusi-institusi Syafi’iyyah secara umum. Apa yang ia lakukan ternyata berbuah besar. Beberapa ulama Syafi’iyyah-Ash’ariyyah abad ini, seperti Imam Haramayn dan Imam al-Ghazali memberikan sumbangan besar terhadap lembaga-lembaga pendidikannya. Dia mendirikan begitu banyak madrasah dari Khurasan di timur hingga Syria dan Mesopotamia di barat. Imam al-Haramayn bukan hanya memiliki otoritas besar di Madrasah Nizamiyah Khurasan, yakni madrasah yang dipercayakan sepenuhnya oleh Nizam al-Mulk kepadanya, melainkan juga menjadi khatib yang disegani di Nishapur. Sebagian besar posisi penting keagamaan di pemerintahan dipegang para ulama Syafi’iyyah-Asy’ariyyah, sedangkan posisi yang kurang penting dipegang oleh Hanafiyyah. Disebabkan madrasah yang berkembang pesat dan penurunan pajak rakyat, aghniya’ (jutawan dermawan) dengan tulus mendukung proyek madrasah dengan sumbangan mereka yang berupa sedekah dan wakaf. Ini berarti bahwa madrasah-madrasah yang didirikan Nizam dengan mantap disponsori oleh penguasa dan rakyat.
Dengan demikian, gerakan-gerakan madrasah ini bias dipandang sebagai upaya reaksi terhadap gerakan Syi’ah yang sebagian besar di barat, terutama di Mesir (Universitas Al-Azhar), atau dilihat sebagai upaya untuk mengimbangi rekayasa pendidikan yang dilancarkan sebelumnya oleh Hanafiyyah di Nishapur. Tetapi yang jelas rekayasa pendirian madrasah-madrasah di bawah kekuasaan Nizam itu merupakan symbol kemenangan Sunni sekaligus sebagai buah yang dipetik oleh wazir besar Nizam al-Mulk atas keberhasilannya dalam menangani konflik-konflik interen dalam masyarakat.[9]

E.     Tujuan Madrasah Nizamiyah
Madrasah ini boleh dilihat sebagai suatu reaksi terhadap gerakan Syiah di Arab belahan barat atau juga terhadap rekayasa lembaga pendidikan Hanafiyyah yang sudah mapan sebelumnya di Nishapur. Betapa pun, berdirinya Madrasah Nizamiyah merupakan satu symbol kemenangan Sunni dan juga merupakan salah satu cara manis Nizam al-Mulk dalam menangani konflik-konflik intrernal masyarakat yang ada.
Berdasarkan asumsi ini, tidaklah berlebihan jika disimpulkan lebih jauh bahwa tujuan madrasah ini paling tidak mempunyai dua point, yakni untuk memperkuat idiologi Syafi’i-Asy’ari di satu sisi dan membendung serangan dari pihak lain, seperti dari Hanbaliyyah, Hanafiyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah di sisi lain. Untuk mendukung roda pemerintahan Nizam adalah satu kemungkinan, tetapi hal itu tampaknya lebih merupakan strategi Nizam sendiri daripada tujuan madrasah sebagai sebuah lembaga.
Bagaimana lembaga pendidikan ini mendorong ajaran-ajaran Syafi’i-Asy’ari terbukti dengan hadirnya sejumlah tokoh kenamaannya, seperti Abu Ishaq al-Shirazi, al-Ghazali dan tokoh-tokoh shaleh lainnya. Di samping satu pusat Madrasah Nizamiyah di Baghdad, paling tidak masih ada 9 Madrasah Nizamiyah lainnya yang tersebar dari Jazirah ibn Umar sampai ke Nishapur.[10] Keberhasilan pengajaran madrasah-madrasah ini bias diketahui dari laporan Abu Ishaq al-Shirazi yang menyatakan bahwa selama melakukan perjalanan dari Baghdad sampai Khurasan, ia menemukan semua murid-muridnya (Syafi’iyyah) sudah menduduki jabatan-jabatan penting, seperti qadli, mufti atau khatib.[11]
Madrasah Nizamiyah di Nishapur dibangun untuk ulama kenamaan Juwayni, Imam al-Haramayn. Tokoh Syafi’i-Ash’ari ini menjadi lebih radikalkarena dia pernah diasingkan oleh al-Kunduri. Juwayni, tokoh sentral MAdrasah Nizamiyah Nishapur, adalah contoh menarik untuk memahami bagaimana madrasah ini bertujuan mempertahankan ajaran-ajaran Ash’ariyyah. Kritiknya yang tajam terhadap etika Mu’tazilah dapat dibaca dalam kitabnya al-Irshad ila Qawati’ al-Adilla fi Ushul al-I’tiqad. Masih menjadi tanda Tanya apakah Madrasah Nizamiyah Nishapur dan Baghdad identik, serta apakah karyanya tersebut merupakan representasi institusinya atau hanya ide-ide pribadinya. Tetapi, yang jelas ada hubungan definitive antara dua lembaga itu, juga posisinya sebagai orang pertama di madrasah ini tentunya berpengaruh besar terhadap potret lembaga tersebut.[12]
Al-Ghazali adalah contoh lain yang menraik untuk memahami bagaimana madrasah ini tidak hanya menyensor Mu’tazilah, tetapi juga filsuf. Kehadirannya di Madrasah Nizamiyah Baghad begitu lama (sekitar 25 tahun) sehingga tidak diragukan lagi bahwa dia memberi corak tersendiri terhadap lembaga ini. Absennya ilmu-ilmu non agama di lembaga ini, yang dipegang kuat oleh Mu’tazilah dan para filsuf, barangkali tidak disebabkan oleh sosok al-Ghazali karena ia datang terlambat. Tetapi, pengabaian terhadap ilmu-ilmu sekuler adalah tipikal bagi madrasah ini, persis dengan apa yang dilakukan al-Ghazali di akhir hayatnya. Betapapun, guru adalah sebuah personifikasi dari sebuah lembaga dalam masyarakat tradisional. Dengan demikian, sulitlah membedakan antara guru yang benar-benar fungsional dengan madrasah itu sendiri.
Madrasah ini secara otomatis juga melindungi idiologinya dari pengaruh Syiah. Hal ini ma’qul karena pada masa yang sama Dinasti Fatimiyah di Mesir sedang berjaya, juga dakwah militant dari Isma’iliyyah ada di mana-mana, salah satu dakwahnya menggunakan media pendidikan dengan mendirikan universitas Al-Azhar.

F.      Kurikulum Madrasah Nizamiyah
 Telah disebutkan bahwa apa yang diajarkan di Madrasah Nizamiyah masih terbuka untuk didiskusikan. Ciri-cirinya yang telah diulas singkat itu akan menentukan kurikulumnya. Keterlibatan Imam Haramayn di Madrasah Nizamiyah Nishapur merupakan bukti kuat bahwa ajaran-ajaran Ash’ariyyah diajarkan di situ. Bahkan, nama Abu al-Hasan Ash’ari terpampang di pintu lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh Nizam.[13]
Disamping fiqih dan tauhid, cabang-cabang ilmu agama yang lain, seperti ushul fiqh, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits Nabi, akhlaq, sangat mungkin sekali diajarkan di situ. Alasannya adalah bahwa setiap muslim wajib, fard al-’ain, mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Imam al-Ghazali menekankan pentingnya kewajiban ini dalam karyanya Ihya al-’Ulum al-Din. Masuk akal bahwa al-Ghazali mengalamatkan kewajiban belajar kepada siswa-siswanya di Baghdad karena dia menulis beberapa bukunya sambil mengajar di madrasah itu. Masuk akal juga bahwa cabang-cabang ilmu agama yang lain, seperti nahwu, sharaf, adab (literature) juga disajikan di situ meskipun ilmu-ilmu itu hanya sebagai pelengkap.
Agaknya Madrasah Nizamiyah mempunyai kurikulum yang menekankan supremasi fiqih. Semua cabang ilmu agama yang lain diperkenalkan dalam rangka menopang superioritas dan penjabaran hokum Islam. Pendidikan serba fiqih adalah cirri yang menonjol dalam pendidikan Sunni muslim abad ke-11. sebagaimana yang terungkap dalam sejarah, pola pendidikan semacam ini terus berlanjut dari abad ke abad. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Madrasah Nizamiyah benar-benar menjadi model pendidikan madrasah pada masa klasik dan pertengahan Islam.[14]

G.    Keruntuhan Madrasah Nizamiyah
Madrasah Nizamiyah sedikit demi sedikit mengalami kemunduran setelah wafatnya Nizam al-Mulk. Madrasah yang sistem pendidikan dan organisasinya ditiru di Eropa ini sempat berjaya sampai akhir abad ke-14, ketika Timur Lenk menghancurkan Baghdad. Timur lenk dengan bala tentaranya menyerbu kota Baghdad dan menghancurkan segala peradaban serta membantai ribuan orang di wilayah yang ditaklukkannya. Baghdad hancur lebur sekitar tahun 1393 M.[15]

III.        KESIMPULAN
1.      Madrasah Nizamiyah adalah madrasah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk untuk mendidik penduduknya serta dan untuk menyebarkan paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah serta memperkuat posisi politiknya sebagai wazir.
2.      Madrasah ini didukung oleh para ulama terkenal dan termasyhur pada zamannya, bahkan sampai sekarang.
3.      Madrasah Nizamiyah menjadi inspirasi madrasah-madrasah Islam zaman sekarang serta merupakan prototype fakultas-fakultas yang sekarang banyak ditiru di lembaga pendidikan zaman sekarang.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, 2002, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta : Gama Media.
Al-Subki, 1964, Tabaqat al-Shafi’iyya al-Kubra, vol III,  Kairo.
Badri Yatim, Dr, M.A, 2000, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 2002, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
M. Faruqi, The Development of the Institutions of Madrasa and the Nizamiyya of Baghdad, Islamic Studies, vol. 26, musim gugur 1987.
http://www.republika.co.id/koran/153/31656/Keunggulan_Pendidikan_I_Nizhamiyah_I
http://indo-zahra.blogspot.com/2009/03/madrasah-madrasah-nizamiyah.html
http://www.republika.co.id/berita/33877/Abdul_Ma_ali_Al_Juwaini_Sang_Cahaya_Agama

[1] . http://www.republika.co.id/koran/153/31656/Keunggulan_Pendidikan_I_Nizhamiyah_I
[2]. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal 44-45
[3] . Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta : Gama Media, 2002), hlm. 101
[4]. http://indo-zahra.blogspot.com/2009/03/madrasah-madrasah-nizamiyah.html
[5] . Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal 44-45.
[6]. http://www.republika.co.id/berita/33877/Abdul_Ma_ali_Al_Juwaini_Sang_Cahaya_Agama
[7]. Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta : Gama Media, 2002), hlm. 101
[8] . Beliau adalah muallif karya-karya besar dan popular yang lahir di kota Thus, sebuah kota di Khurasan Persia tahun 450 H/1054 M.
[9] . Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta : Gama Media, 2002), hlm. 106
[10] . M. Faruqi, The Development of the Institutions of Madrasa and the Nizamiyya of Baghdad, Islamic Studies, vol. 26, musim gugur 1987, hlm. 258
[11]. Lihat al-Subki, Tabaqat al-Shafi’iyya al-Kubra, (Kairo, 1964) vol III, hlm. 89
[12]. Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, op.cit, hlm. 107-108
[13] . lihat al-Faruqi, op.cit., hlm. 260
[14]. Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, op.cit, hlm. 109-113
[15]. Lihat Badri Yatim, Dr, M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000) hlm. 120


Tidak ada komentar:

Posting Komentar