A.Pendahuluan
Sejak lahirnya agama islam, lahirlah pendidikan dan
pengajaran islam, pendidikan dan
pengajaran islam itu terus tumbuh dan berkembang pada masa khulafaurasyidin dan masa bani Umayyah.
Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan
pengajaran berkembang dengan
sangat hebatnya di seluruh negara islam. Sehingga lahir sekolah-sekolah yang
tidak terhitung banyaknya, tersebar di kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan
pemuda berlomba-lomba untuk menuntut ilmu pengetahuan, pergi
kepusat-pusat pendidika, meninggalkan kampung halamannya
karena cinta akan ilmu pengetahuan.
Kerajaan islam di Timur yang berpusat di Bagdad dan
Cordova telah menunjukan dalam
segala cabang ilmu pengetahuan sehingga kalau kita buka lembaran
sejarah dunia pada masa keemasan, yang bermula dengan berdirinya kerajaan Abbasiyah di Bagdad, pada tahun 750 M dan berakhir dengan
kerajaan Abbasiyah pada tahun 1258 Masehi.
B.Pendidikan Islam dan Segala Aspeknya
Kekuasaan dinasti bani
abbas, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti bani Umayyah.
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan
penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw, dinasti didirikan oleh Abdullah Alsaffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn
Abdullah Ibn Al- Abbas.1
Dinasti Abbasiyah merupakan
dinasti islam yang sempat membawa kejayaan umat islam pada masanya. Zaman
keemasan islam dicapai pada masa dinasti-dinasti ini
berkuasa. Pada masa ini pula umat islam banyak melakukan kajian kritis terhadap
ilmu pengetahuan. Akibatnya pada masa ini banyak para ilmuan dan
cendikiawan bermunculan sehinnnngga membuat ilmu
pengetahuan menjadi maju pesat.
Popularitas daulah
Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan
puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Kekayaan yang dimanfaatkan
Harun Arrasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan, pada masanya sudah terdapat
paling tidak sekittar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat
kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya.pada masa inilah Negara islam menempatkan
dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Al- Ma’mun pengganti Al- Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta
kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakan, untuk menerjemahkan buku-buku
Yunani, ia mengkaji penerjemah-penerjemah dari golongan
kristen dan penganut golongan lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan
Bait Al- Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi sebagai
perguruan tinggi dengan
1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 491
perpustakaan yang besar dan menjadi
perpustakaan umum dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang
tidak terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun
inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari datang berduyun-duyun, dan pada masa ini
pula kota Bagdad dapat memancarkan sinar
kebudayaan dan peradaban islam keberbagai penjuru dunia.
Diantara bangunan-bangunan atau sarana untuk penndidikan pada masa
Abbasiyah yaitu:
•Madrasah yang terkenal ketika itu adalah madrasah
Annidzamiyah, yang
didirikan oleh seorang perdana menteri
bernama Nidzamul
Muluk (456-486 M). Bangunan madrasah tersebut tersebar luas di kota Bagdad, Balkan,
Muro, Tabaristan, Naisabur dan lain-lain.
•Kuttab, yakni tempat belajar bagi para siswa sekolah dasar
dan menengah.
•Majlis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ilmuan,
para ulama,
cendikiawan dan para filosof dalam menyeminarkan dan mengkaji ilmu yang
mereka geluti.
•Darul Hikmah, gedung perpustakaan pusat.2
1.Lembaga-lembaga Pendidikan.
a.Lembaga-lembaga pendidikan sebelum madrasah
Adapun lembaga-lembaga pendidikan islam yang sebelum
kebangkitan madrasah pada masa klasik, adalah3:
1.Suffah
Pada masa Rasulullah SAW,
suffah adalah suatu tempat yang dipakai untuk aktivitas pendidikan biasanya tempat ini
menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka
yang tergolong miskin disini para siswa diajari membaca
dan menghafal al-qur’an secara benar dan hukum islam
dibawah bimbingan langsung dari Nabi, dalam perkembangan
berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar
menghitung, kedokteran, astronomi, geneologi dan ilmu filsafat.
2.Kuttab atau maktab.
Kuttab atau maktab berasal
dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan kuttab atau maktab
berarti tempat untuk menulis atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis.
Philip K. Hitti mengatakan
bahwa kurikulum pendidikan dikuttab ini berorientasi kepada al-qur’an
sebagai suatu tex book, hal ini mencakup pengajaran
membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa arab. Sejarah
Nabi hadits, khususnya yang berkaitan dengan Nabi SAW. Bahkan
dalam perkembangan kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab yang mengajarkan pengetahuan non agama (secular learning) dan kuttab
2 Mahrus As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam, (Bandung:
CV Amirco, 1994), h. 25-26
3 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafika Persada, 2004), h. 32-42
2
yang mengajarkan
ilmu agama (religius learning).
Dengan adanya perubahan
kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga
pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan
dengan peradaban helenisme menjadi lembaga pendidikan
yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk
filsafat.
3.Halaqah.
Halaqah artinya lingkaran.
Artinya proses belajar mengajar disini dilaksanakan dimana murid- murid
meringkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai
menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan
komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan di halaqah
ini tidak khusus untuk megajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat.
4.Majlis.
Istilah majlis telah
dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama islam, mulanya ia merujuk pada
arti tempat-tempat pelaksanakan belajar mengajar. Pada
perkembangan berikutnya disaat dunia pendidikan islam mengalami
zaman keemasan, majlis berarti sesi dimana aktivitas pengajaran
atau berlangsung.
Seiring dengan perkembangan
pengetahuan dalam islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan.
sebagaian majlis banyak ragamnya, menurut Muniruddin
Ahmad ada 7 (tujuh) macam
majlis, sebagai berikut:
a.Majlis al-hadits
b.Majlis al-tadris
c.Majlis al-manazharah
d.Majlis muzakarah
e.Majlis al-syu’ara
f.Majlis al-adab
g.Majlis al-fatwa dan al-nazar
5.Masjid
Semenjak berdirinya di
zaman Nabi SAW, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi
berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut
pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun, yang lebih penting
adalah sebagai lembaga pendidikan.
Perkembangan masjid sangat
signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, terlebih lagi pada saat
masyarakat islam mengalami kemajuan. Urgensi masyarakat
terhadap masjid menjadi semakin kompleks, hal ini
menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua
bentuk yaitu mesjid sebagai tempat sholat jum’at atau jami dan masjis biasa.
Kurikulum pendidikan dimasjid biasanya merupakan
tumpuan pemerintah untuk
memperoleh pejabat-penjabat pemerintah, seperti, qodhi,
khotib dan iman masjid.
6.Khan
Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan
barang-barang dalam jumlah besar
atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko,
seperti, khan al narsi yang berlokasi di alun-alun karkh di bagdad.
7.Ribarth.
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin
menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata- mata
ibadah.
8.Rumah – Ulama.
Rumah sebenarnya bukan temapat yang nyaman untuk
kegiatan belajar mengajar, namun
para ulama dizaman klasik banyak yang mempergunakan
rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan
pengembangan ilmu pengetahuan.
9.Toko-toko buku dan perpustakaan.
Toko-toko buku memiliki
peranan penting dalam kegiatan keilmuan islam, pada awalnya memang hanya manjual
buku-buku, tetapi berikutnya menjadi sarana untuk
berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering
dirancang dan dilaksanakan disitu.
Disamping tokobuku, perpustakan juga memilki peranan penting dalam
kegiatan transfer keilmuan islam.
10.Rumah sakit.
Rumah sakit pada zaman
klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati
orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga
yang berhungan dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa
itu, percabaan dalam bidang kedokteran dan obat-oibatan dilaksanakan
sehingga ilmu kedoteran dan obat-obatan cukup pesat.
Rumah sakit juga merupan tempat praktikum
sekolah kedoteran yang didirikan diluar rumah sakit, rumah sakit juga berfungsi
sebagai lembaga pendidikan .
11.Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal
badui)
Badiah merupakan sumber
bahasa arab yang asli dan murni, dan mereka tetap mempertahankan
keaslian dan kemurnian bahasa arab. Oleh karena itu
badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak khulifah, ulama-ulama dan
para ahli ilmu pengetahuan pergi kebadiah-badiah dalam rangka
mempelajari bahasa dan kesusastraan arab. Dengan begitu
badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
b.Madrasah
1.Sejarah dan motivasi pendirian madrasah
Beberapa paradigma dapat
digunakan dalam memandang sejarah dan motivasi pendirian madrasah. Paling tidak ada 3 teori
tentang timbulnya madrasah:
a.Madrasah selalu dikaitkan dengan nama nidzam al-mulk (W. 485
H/1092 M), salah seorang wazir dinasti saljuk sejak 456 H/1068 M
4
sampai
dengan wafatnya, dengan usahanya membangun madrasah nizhamiyah diberbagai kota utama
daerah kekuasaan saljuk begituh dominannya peran nidzam
al-mulk adalah orang pertama yang membangun madrasah.
b.Menurut al-makrizi, ia berasumsi bahwa madrasah pertama adalah
madrasah nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H.
c.Madrasah sudah eksis semenjak awal islam seperti bait al-hikmah
yang didirikan Al-Makmun di Bagdad abad ke-3 H.
Dari informasi diterima
diatas dapat diketahui bahwa madrasah yang pertama di Nisyapur. Namun
demikian, madrasah itu kurang dikenal mengingat motivasi
pendirian madrasah itu sendiri pada waktu itu masih bersifat
ahliyah (keluarga) berdasarkan wakaf keluarga dan sejarah baru mencatat sesuatu bila telah menjadi fenomena yang meluas.
Lahirnya lembaga pendidikan
formal dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan
yang pada awalnya berlangsung di mesjid-mesjid.
Disisi lain, syalabi
mengemukakan bahwa perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara
tidak langsung, menurutnya madrasah sebagai konsekuensi
logis dari semakin ramainya pengajian di masjid yang
fungsi utamanya adalah ibadah. Agar tidak kegiatan ibadah, dibuatlah tempat khusus untuk belajar yang dikenal madrasah.
Dengan berdirinya madrasah,
maka pendidikan islam mesasuki periode baru. Yaitu pendidikan menjadi fungsi bagi negara
dan madrasah- madrasah dilembagakan untuk tujuan
pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik.
Meskipun madrasah sebagai
lembaga pendidikan dan pengajaran didunia islam baru timbul sekitara abad ke-14 H, ini bukan
berarti bahwa sejak awal perkembangannya islam tidak mempunyai
lembaga pendidikan dan pengajaran. Pada awal telah
berdiri madrasah yang menjadi cikal bakal munculnya
madrasah nizamiyah, madrasah tyersebut berada diwilayah
Persia, tepatnya di daerah Nisyapur, misalnya madrasah al- baihaqiyah, madrasah sa’idiyah dan madrasah yang terdapat di Khurasan.
2.Madrasah Nizhamiyah.
Madrasah nizhamiyah
merupakan pertotipe awal bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga
dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan
pendidikan islam, dan merupakan karakteristik tradisi pendidikan
islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama. Pemerintah atau penguasa ikut terlibat didalam menentukan
tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik dan
lain-lain. Kendati madrasah nizhamiyah mampu melestarikan
tradisi keilmuan dan menyebarkan ajaran islam dalam persi
tertentu. Tetapi keterkaitan dengan standarisasi dan
pelestarian ajaran kurang mampu menunjang pengembangan
ilmu dan penelitian yang inofatif.
3.Madrasah di Mekah dan Madinah.
Informasi tentang madrasah mendapat dukungan banyak dari
5
berbagai leteratur. Namun sayang para
sejarawan tidak cukup tertarik berbicara madrasan di Mekah dan Madinah. Hal ini
mengakibatkan pelacakan informasi tentang permasalahan
tersebut kurang lengkap.
Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah
di Mekah lebih banyak dibandingkan di Madinah. Diantara madrasah Abu Hanifah, Maliki,
madrasah ursufiyah, madrasah muzhafariah, sedangkan madrasah
megah yang dijumpai di Mekah adalah madrasah qoi’it bey,
didirikan oleh Sultan Mamluk di Mesir.
2.Kehidupan guru
a.Guru dalam pendidikan muslim4.
Tinggi rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad
pendidikan muslim tergantung atas dua faktor, yaitu:
1.Tempat dimana dia
mengajar, di Persia: penghormatan kepada guru merupakan suatu tradisi
lama dalam pendidikan zoroastrian, tradisi ini
dilanjutkan kedalam periode islam.
2.Tingkatan dimana ia
belajar. Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi terhadap
guru sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Guru-guru
sekolah dasar kurang dihargai karena pengetahuannya
yang amat sederhana dan
karena
tingkat
pendidikan
tampaknya sudah menjadi daya tarik.
b.Tipe-tipe guru.
Ada enam tipe guru yaitu
muallim, mu’addib, mudarris, syaikh, ustad, imam, belum lagi termasukguru
pribadi dan para muaiyyid atau asisten (guru- guru
yunior). Muallim biasanya julukan bagi guru sekolah dasar, mu’addib, arti harfiyahnya orang yang beradab atau guru adab, adalah julukan
untuk guru-guru sekolah dasar dan menengah, mudarris
adalah satu julukan propesional untuk seorang murid atau
pembantu. Ia sama dengan asisten profesor dan membantu
mahasiswa menjelaskan hal-hal yang sulit mengenai kuliah
yang diberikan profesornya, syaikh atau guru besar adalah julukan khusus yang menggambarkan keunggulan akademis atau teologis, imam
adalah guru agama tertinggi.
c.Pakaian guru
Selama pemerintahan abbasiyah para guru mengikuti gaya Persia, mengenakan tutup kepala Persia, celana lebar, rok, rompi,
dan jaket. Semuanya ditutup dengan jubah atau aba mantel luar dan taylasan diatas surban.
d.Organisasi guru5
Keberadaan guru mempunyai
pengaruh yang penting dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang
besar dalam kekuasaan kholifah, karena guru terhimpun
dalam suatu organisasi yang mempunyai fower yang dapat
mengendalikan kepentingan kholifah, khususnya dalam hal
pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi pengajar di
masjid.
3.Pola interaksi guru dan siswa pada pendidikan islam
klasik
a.Pola sikap guru terhadap siswa dalam interaksi
edukatif pada pendidikan islam klasik.
Bentuk pola sikap guru pada pendidikan
islam klasik berdasarkan pada nilai- nilai hubungan yang ada pada pola
bentuk sikap Rasulullah dan Sahabat dalam mendakwahkan
islam, yaitu pola keikhlasan, pola kekeluargaan, pola kesederajatan
dan pola uswatun hasanah.
Pola keikhlasan
Pola keikhlasan mengandung makna bahwa
interaksi yang berlangsung bertujuan agar siswa dapat menguasai ilmu pengetahuan yang
diajarkan tanpa mengharap ganjaran materi dari interaksi
tersebut, dan menganggap interaksi itu berlangsung sesuai
dengan panggilan jiwa dan untuk mengabdikan diri kepada
Allah SWT.
Pola kekeluargaan
Pada masa ini guru memposisikan dirinya
dan siswa seperti orang tua dan anak, artinya mereka mempunyai tanggung jawab yang penuh
dalam pendidikan tersebut, dan mencurahkan kasih sayang
seperti menyayangi anak sendiri.
Pada pola ini guru senantiasa bersikap:
•Lemah lembut dalam proses belajar mengajar.
•Bijaksana dalam memberikan pujian atau hadiah
dan hukuman pada anak.
•Guru tidak bersikap pilih kasih.
Pola kesederajatan
Guru dalam interaksinya senantiasa
memunculkan sikap tawadhu terhadap siswanya, pola interaksi seperti ini membuat guru
menghargai potensi yang dimiliki anak. Dengan demikian
pola yang dimunculkan bernuansa demokratis, guru
memberikan kesempatan pada siswa untuk menyampaikan
sesuatu yang belum dimengerti.
Pola al uswah al hasanah
Pada pendidikan islam klasik, interaksi
yang terjadi antara guru dan siswa tidak hanya terjadi pada proses belajar mengajar, tetapi
berlangsung juga di tengah masyarakat, dimana guru
menjadi agen moral sekaligus model
5 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h.
76-77
7
dari moral yang
diajarkan.
b.Pola sikap siswa terhadap guru dalam interaksi
edukatif
1.Pola ketaatan
Ketaatan seorang siswa terhadap gurunya
membawa barokah dalam proses pencarian ilmu. Untuk itu, maka siswa dalam interaksi dengan
guru merupakan upaya mencari ridhonya (kerelaan hatinya).
Gambaran ketaatan siswa dalam interaksinya dengan guru dibagi 2 (dua),
yaitu:
a)Ketaatan terhadap guru
secara langsung, yaitu jangan berjalan didepan guru, jika bertamu
kerumah guru hendaknya tidak mengetuk pintu, tetapi cukup
menunggu diluar, dan lain-lain.
b)Ketaatan
terhadap
keluarga
guru, menghormati guru dan semua
orang yang mempunyai ikatan keluarga dengan guru.
2.Pola kasih sayang
Menurut ibn naiskawaih, kewajiban antara
siswa terhadap guru berada diantara cinta terhadap Allah dan cinta kepada orang tua,
karena menurut Ibnu Miskawaih, guru merupakan penyebab
eksistensi hakiki kita dan penyebab kita memperoleh
kebahagiaan sempurna.
3.Pola komunikasi guru dan siswa dalam
proses
belajar
mengejar
pada
pendidikan islam klasik.
Pendidikan islam pada masa ini sudah mengenal beberapa bentuk
komunikasi dalam proses belajar mengajar, yaitu:
Pola satu arah
Pada pola komunikasi terjadi hanya satu
arah, seorang guru bertindak sebagai instruktur dan senantiasa mendorong siswa untuk
lebih menghapal.
Pola banyak arah
Pola ini komunikasi terjadi tidak hanya
antara guru dan siswa, tetapi siswa dan guru, siswa dan siswa. Ini berlangsung dalam
diskusi dan perdebatan masalah-masalah ilmiah.
Kurikulum pendidikan islam
1.Kurikulumpendidikan islam sebelum berdirinya
madrasah.
a.Kurikulum pendidikan rendah
Sebelum berdirinya
madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan islam, tetapi hanya satu tingkat
yang bermula dikuttab dan berakhir didiskusi halaqah.
Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat islam, dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping al-
8
qur’an, kadang
diajarkan bahasa nahwu dan arudh.
Sedangkan kurikulum yang
ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah mengajari al-qur’an,
karena anak-anak dari segi fisik dan mental telah siap
menerima pendiktean. Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukanbagi masyarakat umum yang ada di istana.
Di istana orang tua (para pembesar istana) adalah yang
membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya
dan tujuan yang dikehendaki. Rencana pelajaran untuk
pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan- peperangan,
cara bergaul dengan masyarakat disamping pengetahuan pokok, seperti al-qur’an, syair dan bahasa.
Kurikulum pada tingkat ini
bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat, karena sebuah kurikulum dibuat tidak
akan pernah lepas dari faktor sosiologis, politis,
ekonomis masyarakat yang melingkupinya.
b.Kurikulum pendidikan tinggi.
Kurikulum pendidikan
tinggi, berpariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar para mahasiswa tidak
terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu,
demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu.
Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan
ilmu-ilmu agama dan jurusan ilmu pengetahuan.
Al-Khuwarazmi (Yusuf al-kutub,
tahun 976) meringkas kurikulum agama sebagai berikut: Ilmu Fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam,
ilmu kitabah (sekretaris), ilmu arudh, dan lain-lain.
Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
1)Disiplin-disiplin umum:
tulis baca, arti baca gramatika, ilmu hitung, satra, ilmu tentang tanda dan isyarat, ilmu
sihir, jimat, kimia, sulap, dagang, dan sebagainya.
2) Ilmu-ilmu filosofis:
matematika, logika, ilmu angka- angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika dan hukum-hukum geometri, dan sebagainya.
2.Kurikulum setelah berdirinya madrasah.
Pada zaman keemasan islam,
aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan islam tidak mengizinkan teologi
dan dugma membatasi ilmu pengetahuan mereka, mereka
meyelidiki setip cabang ilmu pengetahuan manusia, baik psikologi,
sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesustraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, matematika, logika, seni, arsitektur.
Sejalan dengan perkembangan
zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah dianggap krusial.
Pendirian lembaga pendidikan tinggi islam ini terjadi di
bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab
yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki telah
mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk
mazhab Hanafi dan Syafi’i dan telah dibangun juga sebuah
madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.
Berdirinya madrasah, pada satu sisi, merupakan sumbangan islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa dampak yang buruk
bagi dunia pendidikan setelah hegomoni negara terlalu
kuat terhadap madrasah ini. Akibatnya kurikulum madrasah
ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan
teologi. ”pemakruhan” penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-
ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum
madrasah, mereka yang punya minat besar terhadap
ilmu-ilmu ini terpaksa belajar sendiri-sendiri. Karenanya
ilmu-ilmu profan banyak berkembang di lembaga nonformal.
C.Perkembangan Ilmu Keislaman
Pengaruh dari kebudayaan
bangsa yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa
kemajuan dibidang ilmu pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu
pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi al-ma’tsur yaitu,
interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi
dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Kedua, tafsir bi al-ra’yi
yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang
berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, akan tetapi
jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al ra’yi
(tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiranfilsafat
dan ilmu pengetahuan, hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi perkembangan logika dikalangan umat
islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu
tersebut.
Imam-imam mazhab hukum yang
empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya di pengaruhi ole perkembangan
yang terjadi di Kuffah, kota yang berada ditengah-tengah
kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi, karena itu mazhab ini lebih banyak
menggunakan pemikiran rasional dari pada hadis. Muridnya
dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qodhi
Al-Qudhal dizaman Harun Al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah,
imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat madmah. Pendapat
dua tokoh mazhab hukum ditengahi oleh imam Syafi’i
(767-820 M) dan imam Ahmad ibn Hambal (780- 855
M).Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan
bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan
pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula,
akan tetapi karena pengikutnya tidak berkembang pemikiran
dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran teologi sudah ada
sejak masa bani Umayah, seperti khawarij, murji’ah, dan mu’tazilah, akan tetapi perkembangan
pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional mu’tazilah
muncul diujung pemerintahan bani Umayah. Namun pemikirannya
yang sudah kompleks dan sempurna baru dirumuskanpada masa pemerintahan bani Abbas periode pertama. Selain itu dalam bidang sastra,
penulisan hadis juga berkembang pesat pada masa bani
Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh
tersedianya pasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadis bekerja, dan hadis merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Qur’an.
10
Dan pada zaman bani Abbasiyah juga ilmu tasawuf dan
ilmu bahasa mengalami kemajuan,
ilmu tasawuf adalah ilmu syari’at. Inti ajarannya adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan
meninggalkan kesenangan perhiasan dunia dan bersembunyi
diri beribadah.dalam ilmu bahasa ini didalamnya mencakup
ilmu nahwu, shorof, ma’any, bayan, badi’, arudl, dan lain-lain. Ilmu bahasa pada daulah bani Abbasiyah berkembang dengan pesat, karena
bahasa arab semakin berkembang memerlukan ilmu bahsa yang
menyeluruh.6
D.Perkembangan
Ilmu-ilmu Non Keislaman (Kedokteran, Filsafat, Astronomi,
dan lain-lain),
Para Ilmuan Muslim dan Kepakarannya
a.Kedokteran
Seiring dengan ilmu-ilmu lain, ilmu kedokteran juga
sempat mencapai masa keemasannya,
daulah Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter ternama. Sekolah-sekolah
tinggi kedokteran banyak didirikan diberbagai tempat, begitulah rumah-rumah sakit besar yang berfungsiselain sebagai perawatan para
pasien,juga sebagai ajang peraktek para dokter dan calon
dokter. Diantaranya sekolah tinggi kedokteran yang
terkenal:
•Sekolah tinggi kedokteran di Yunde Shafur (Iran)
•Sekolah tinggi kedokteran
di Harran (Syria)
•Sekolah tinggi kedokteran
di Bagdad.
Adapun para dokter yang populer pada masa itu antara lain:
•Abu Zakaria Yuhana bin Miskawaih, seorang ahli formasi di
rumah sakit
Yunde Shafur.
•Sabur bin sahal, direktur rumah sakit Yunde Shafur.
•Hunain bin Ishak (194-264 H/ 810-878 M) seoranng ahli
penyakit mata
ternama.
•Abu Zakaria Ar-Razy kepala rumah sakit di Bagdad dan
seorang dokter ahli
penyakit campak dan cacar, dan dia juga orang pertam yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak.
•Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M). Ia seorang ilmuan yang
multi dimensi,
yakni selain mengasai ilmu kedokteran,
juga ilmu-ilmu lai, seperti filsafat dan sosiologi. Ibnu Sina berhasil
menemukan sistem peredaran darah pada manusia diantara karyanya adalah Al- Qur’an fi al rhibb
yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam
sejarah.7
b.Filsafat
Melalui proses penerjemahan
buku-buku filsafat yang berbahasa Yunani para ulama muslim banyak mendalami
dan mengkaji filsafat serta mengadakan perubahan serta
perbaikan sesuai dengan ajaran islam. Sebab itulah lahirla filsafat islam yang akhirnya menjadi bintangnya dunia filsafat diantara para
ahli filsafat
6 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya 2000), h.
60
7 Mahrus As’ad, Opcit
11
yang terkenal pada waktu itu adalah:
•Abu Ishak Al-Kindi (1994-260 H/809-873 M). ia adalah
satu-satunya filosof
berkebangsaan asli arab, yakni dari suku kindah, karya-karyanya tidak
kurang
dari 236 buah buku.
•Abu Nasr Al-Faraby (390 H/961 M), Al Farabi banyak menulis
buku tentang
filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap
filsafat
Aristoteles dan karyanya tak kurang dari 12 buah buku.
•Al-Ghazali (450-505 H/1058-1101 M), beliau dijuluki
sebagai hujjatul islam,
karyanya tidak kurang dari 70 buah diantaranya:
a. Al Munqidz Minadlalal
b. Tahafutul Falasifah
c. Mizanul Amal
d. Ihyaulumuddin
e. Mahkun Nazar
f. Miyazul Ilmi, dan
g. Maqashidul Falasifah
•Ibnu Rusyd di barat lebih dikenal dengan nama Averoes,
banyak berpengaruh
di barat dalam bidang filsafat, sehingga disana
terdapat aliran yang disebut
averroisme.8
c.Ilmu Astronomi
Ilmu astronomi atau perbintangan berkembang dengan
baik, bahkan sampai mencapai
puncaknya, kaum muslimin pada masa bani Abbasiyah mempunyai
modal yang terbesar dalam mengembanngkan ilmu perhitungan. Mereka menggodok dan mempersatukan aliran-aliran ilmu bintang yang
berasal atau dianut oleh Yunani,
Persia, India, Kaldan. Dan ilmu falak arab
jahiliyah. Ilmu bintang memegang peranan penting dalam
menentukan garis politik para khalifah dan amir.
Diantara para
ahli ilmu astronomi pada masa ini adalah:
•Al-battani atau Albatagnius, seorang ahli astronomi yang terkenal
dimasanya.
•Al-Fazzari, seorang pencipta atrolobe, yakni alat pengukur tinggi dan
jarak
bintang.
•Abul Wafak, seorang menemukan jalan ketiga dari bulan, jalan kesatu
dan
kedua telah
ditemukan oleh ilmuan yang berkebangsaan Yunani.
•Rahyan Al Bairuny, seorang astronomi.
•Abu Mansyur Al Falaky, seorang ahli ilmu falaq.
Untuk mendukung perkembangan ilmu ini, para khalifah
telah banyak membangun
observatorium diberbagai kota,
disamping observatorium milik pribadi ilmuan.
d.Ilmu
Matematika
Bidang ilmu
matematika juga mengalami kemajuan pesat, diantara para
tokohnya yaitu:
•Umar Al Farukhan, seorang insinyur dan arsitek kota
Bagdad.
•Al-Khawarizmi, seorang pakar matematika muslim yang mengarang buku
Al-
Gebra
(Al-jabar). Dan dia juga yang
menemukan angka nol.
e.Ilmu Farmasi dan Kimia
Pakar ilmu farmasi dan
kimia pada masa dinasti Abbasiyah sebenarnya sangat banyak, tetapi yang paling
terkenal adalah ibnu Baithar. Ia adalah seorang ilmuan
farmasi yang produktif menulis, karyanya adalah Almughni (memuat tentang obat-obatan) dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafika Persada,
2004
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000
As’ad Mahrus, Sejarah Kebudayaan Islam,
Bandung: Amico, 1994
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Djazimi, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,
Serang: IAIN ”SMH” Banten, 2001
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan
Islam, Jakarta:
Alhusna Zikra, 2000
Sejarah Pendidikan Agama Islam Masa Abbasiyah
A. PENDAHULUAN
Sejarah
pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam, karena proses pendidikan
Islam sejatinya telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang
sejalan dengan perkembangan sosial budaya umat Islam itu sendiri. Melalui
sejarah Islam pula, umat Islam bisa meneladani model-model pendidikan Islam di
masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad SAW, sahabat dan ulama-ulama sesudahnya.
Para ahli sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah dan universitas,
sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sesungguhnya sudah
berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal, diantaranya adalah
masjid.
Masjid
pada masa Nabi bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai tempat
menyiarkan ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang dewasa, disamping
sebagai tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan tempat menerima
duta-duta asing. Bahkan di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, masjid
yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas
pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku dari
berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu. Sebelum
al-Azhar didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang dipakai
sebagai tempat belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa pada saat
itu.
Islam
mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa Dinasti
Abbasiyah. Pada saat itu, mayoritas umat muslim sudah bisa membaca dan menulis
dan dapat memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik. Pada masa ini
murid-murid di tingkat dasar mempelajari pokok-pokok umum yang ringkas, jelas
dan mudah dipahami tentang beberapa masalah. Pendidikan di tingkat dasar ini
diselenggarakan di masjid, dimana al-Quran merupakan buku teks wajib. Pada
tingkat pendidikan menengah diberikan penjelasan-penjelasan yang lebih mendalam
dan rinci terhadap materi yang sudah diajarkan pada tingkat pendidikan dasar.
Selanjutnya pada tingkat universitas sudah diberikan spesialisasi, pendalaman
dan analisa.
B. PEMBAHASAN1. Tujuan pendidikan pada masa Abbasiyah
Pada
masa Nabi masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu
keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap
keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah
bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Tujuan keagamaan dan
akhlak
Sebagaiman
pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal
Al-Qur’an, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut
ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
b. Tujuan kemasyarakatan
Para
pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan
memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi
masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju
masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu
yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga
diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
c. Cinta akan ilmu
pengetahuan
Masyarakat
pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam
ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri islam untuk menuntut ilmu
tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan
berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk
memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
d. Tujuan kebendaan
Pada
masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak
dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan
kekuasaan di dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang
ini.[1]
2. Tingkat-tingkat
Pengajaran
Pada masa Abbasiyah
sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
- Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran islam, menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.[2]
- Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran, dan juga music.
- Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:
1)
Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun
menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini
meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga
Bahasa Arab.
2)
Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu
Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan
kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu
hewan, dan juga kedokteran.[3]
3. Perkembangan ilmu pengetahuan di masa Abbasiyah
Pada masa abbsiyah ini terdapat
perkembangan ilmu pengetahuan, antara lain sebagai berikut:
- Menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing (Yunani,Syiria Ibrani, Persia, India, Mesir, dan lain-lain) ke dalam bahasa Arab. Buku-buku yang diterjemahkan meliputi ilmu kedokteran, mantiq (logika), filsafat, aljabar, pesawat, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu kimia, ilmu hewan, dan ilmu falak.
- Pengetahuan keagamaan seperti fikih, usul fikih, hadis, mustalah hadis, tafsir, dan ilmu bahasa semakin berkembang karena di zaman Bani Umayyah usaha ini telah dirintis. Pada masa ini muncul ulama-ulama terkenal seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali, Imam Bukhari, Imam Muslim, Hasan Al Basri, Abu Bakar Ar Razy, dan lain-lain.[4]
- Sejak upaya penerjemahan meluas, kaum muslim dapat mempelajari ilmu-ilmu ilmu-ilmu itu langsung dalam bahasa arab sehingga muncul sarjana-sarjana muslim yang turut memperluas peyelidikan ilmiah, memperbaiki atas kekeliruaan pemahaman kesalahan pada masa lampau, dan menciptakan pendapat-pendapat atau ide baru. Tokoh-tokohnya antara lain sebagai berikut :
Ilmuwan untuk mengungkap rahasia
alam, yang dimulai dengan mencari manuskrip-manuskrip klasik peninggalan
ilmuwan Yunani Kuno, seperti karya Aristoteles, Plato, Socrates, dan
sebagainya. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian dibawa ke Baghdad, lalu diterjemahkan dan dipelajari di
perpustakaan yang merangkap sebagai lembaga penelitian, Baitul Hikmah, sehingga
melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Dalam bidang filsafat antara
lain tercatat Al-Kindi, Al- Farabi, Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusydi
(Averroes). Di bidang sains ada Al-Farghani, Al-Biruni, Al-Khawarizmi, Umar
Khayyam dan Al-Thusi. Di bidang kedokteran tercatat nama Al-Thabari, Ar-Razi
(Rhazes), Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi (Averroes). Di bidang ilmu kimia terkenal
nama Ibnu Hayyan. Di bidang optika ada Ibnu Haytsam. Di bidang geografi ada
Al-Khawarizmi, Al-Ya’qubi, dan Al-Mus’udi. Dalam bidang ilmu kedokteran hewan
ada Al-Jahiz, Ibnu Maskawaihi, dan Ikhwanussafa, Ibnu Sina dan seterusnya yang
tidak muat lembaran ini jika diurut satu persatu.
Dalam bidang ilmu fiqih terkenal nama Abu Hanifah, Malik
bin Anas, Al-Syafi’ie, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam ilmu kalam ada Washil bin
Atha, Ibnu Huzail, Al-Asy’ari, dan Maturidi. Dalam ilmu Tafsir ada Al-Thabari
dan Zamakhsyari. Dalam ilmu hadits, yang paling populer adalah Bukhari dan
Muslim. Dalam ilmu tasawuf terdapat Rabi’ah Al- Adawiyah, Ibnu ‘Arabi,
Al-Hallaj, Hasan al-Bashri, dan Abu Yazid Al-Bustami.[5]- Sejak Akhir abd ke-10, muncul sejumlah tokoh wanita dibidang ketatanegaraan dan politik seperti Khaizura, Ulayyah, Zubaidah, dan Bahrun. Di bidang kesusastraan dikenal Zubaidah dan Fasl. Di bidang Sejarah, muncul Shalikhah Shuhda. Di bidang kehakiman, muncul Zainab Umm Al Muwayid. D I bidang seni musik, Ullayyah dikenal dan sangat tersohor pada waktu itu.
- Pada masa bani Abbasiyah, juga terjadi kemajuaan di bidang perdagangan dan melalui ketiga kota ini dilakukan usaha ekspor impor. Hasil idustri yang diekspor ialah permadani, sutra, hiasan, kain katun, satin, wool, sofa, perabot dapu atau rumah tangga, dan lain-lain.
- Bidang pendidikan mendapat perhatian yang sangat besar. Sekitar 30.000 masjid di Bagdad berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran pada tingkat dasar. Perkembangaan pendidikan pada masa bani abbasiyah dibagi 2 tahap. Tahap pertama (awal abad ke-7 M sampai dengan ke-10 M ) perkembangan secara alamiah disebut juga sebagai system pendidikan khas Arabia. Tahap kedua (abad ke 11) kegiatan pendidikan dan pengajaran diatur oleh pemerintah dan pada masa ini sudah dipengaruhi unsur non-Arab.[6]
Kurikulum yang dikembangkan dalam pendidikan Islam saat itu, yaitu : pertama, kurikulum pendidikan tingkat dasar yang terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar Matematika dan pelajaran syair. Ada juga yang menambahnya dengan mata pelajaran nahwu dan cerita-cerita. Ada juga kurikulum yang dikembangkan sebatas menghapal Al-Quran dan mengkaji dasar-dasar pokok agama.
Berikut sebuah riwayat yang bisa memberikan gambaran tentang kurikulum pendidikan pada tingkat dasar pada saat itu. Al Mufadhal bin Yazid menceritakan bahwa pada suatu hari ia berjumpa seorang anak-anak laki dari seorang baduwi. Karena merasa tertarik dengan anak itu, kemudian ia bertanya pada ibunya. Ibunya berkata kepada Yazid: “…apabila ia sudah berusia lima tahun saya akan menyerahkannya kepada seorang muaddib (guru), yang akan mengajarkannya menghapal dan membaca Al-Quran lalu dia akan mengajarkannya syair. Dan apabila dia sudah dewasa, saya akan menyuruh orang mengajarinya naik kuda dan memanggul senjata kemudian dia akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara orang-orang yang minta pertolongan…”.
Kedua, kurikulum pendidikan tinggi. Pada pendidikan tinggi, kurikulum sejalan dengan fase dimana dunia Islam mempersiapkan diri untuk memperdalam masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Akan tetapi bukan berarti pada saat itu, yang diajarkan melulu agama, karena ilmu yang erat kaitannya dengan agama seperti bahasa, sejarah, tafsir dan hadis juga diajarkan.[7]
C. PENUTUP
Demikianlah sedikit uraian tentang Sejarah Pendidikan Islam pada masa Abbasiyah. Tentunya tulisan ini masih sangat jauh untuk mengungkap secara detail dan sempurna tentang Sejarah Pendidikan Islam pada masa Abbasiyah. Untuk itu penulis yakin makalah ini masih membutuhkan banyak koreksi dan masukan. Sebagai penutup penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.
Daftar Pustaka
Basri, Hasan, M.Nur. Peran Islam dalam Kemajuan Eropa. Serambi Indonesia. edisi 19 Maret 2001.
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yunus, Mamud. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: DEPAG.
[1] Mamud Yunus. 1990. Sejarah Pendidikan Islam.
Jakarta: PT. Hidakarya Agung. Hlm. 46
[2] Badri Yatim. 2000. Sejarah Peradaban Islam:
Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. Hlm. 54[3] Musyrifah Sunanto. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media. Hlm. 57.
[4] Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: DEPAG. Hlm. 88
[5] Hasan Basri, M.Nur, Peran Islam dalam Kemajuan Eropa, Serambi Indonesia, edisi 19 Maret 2001.
[6] Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: DEPAG. Hlm. 99
[7] Ibid, hlm. 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar