I.
PENDAHULUAN
Madrasah
merupakan ciri khas dalam pendidikan dunia Islam. Banyak orang yang memandang
sebelah mata apabila dikenalkan nama pendidikan Islam. Menurut sebagian orang,
pendidikan Islam kalah kualitas dibandingkan pendidikan umum. Benarkah ?
Tentunya,
mereka yang berpandangan demikian karena belum pernah membaca sejarah Islam
secara utuh. Pada pertengahan abad kedelapan Masehi atau abad kedua Hijriyah,
merupakan masa-masa keemasan Islam (The Golden Ages of Islam). Kondisi
ini berlangsung pada masa kekhalifahan Islam di bawah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah (133-656 H/750-1258 M). Saat itu, dua per tiga bagian dunia dikuasai
oleh kekhalifahan Islam. Selain itu, tradisi keilmuan berkembang pesat.
Berbagai sumber menyebutkan, masa kejayaan Islam, terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, terjadi pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Dia
adalah khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada 786 M hingga 809 M.
Salah
satu puncak pencapaian yang membuat nama Khalifah Harun al-Rasyid melegenda
adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa
kepemimpinannya, terjadi penerjemahan sejumlah karya dari berbagai bahasa.
Inilah yang menjadi titik awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia
dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada era itu pula, beragam disiplin ilmu
pengetahuan dan peradaban mulai berkembang. Perkembangan tersebut berkat
dorongan pemerintah saat itu yang menyediakan berbagai fasilitas dan memberikan
kebebasan intelektual para siswanya.
Pengembangan
ilmu pengetahuan pada masa itu dilakukan dengan beberapa cara. Pertama,
dilakukan penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, Suriah, dan India ke dalam
bahasa Arab. Ribuan buku yang diambil dari perpustakaan-perpustakaan lama,
dibawa ke Irak (pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah–Red) untuk diterjemahkan
dan sejumlah perpustakaan baru didirikan. Gerakan penerjemahan ini berlangsung
dari tahun 750-850 M.
Kedua,
karya-karya yang diterjemahkan itu kemudian diberi komentar oleh para sarjana
Islam. Teori-teori yang ada diberi penjelasan dan disesuaikan dengan ajaran
Islam. Melalui renungan, pengamatan, penelitian, dan eksperimen (percobaan),
para tokoh Muslim dapat melahirkan teori-teori dan konsep-konsep baru. Dari
kegiatan ini, mereka menghasilkan ribuan karya tulis dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan.
Ketiga,
didirikan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi,
seperti Baitul Hikmah (perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu
pengetahuan dan peradaban terbesar pada masa itu), Majelis al-Manazarah,
dan Madrasah Nizhamiyah. Selain itu, masjid-masjid, istana, dan rumah
para sarjana difungsikan sebagai tempat belajar.[1]
Pada tulisan
ini kami menghususkan membahas mengenai sejarah dan perkembangan Madrasah
Nizamiyah, asal usul pendirinya serta berbagai keunggulannya.
II.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pendiri Madrasah
Nizamiyah, Nizam Al-Mulk
Nizam
al-Mulk (Radkan, Tus, 10 April 1018 – Sihna, 14 Oktober 1092) adalah seorang
perdana menteri Dinasti Salajikah (Seljuk) pada masa pemerintahan Sultan Alp
Arslan dan Sultan Maliksyah. Nama aslinya Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ishaq
at-Tusi. Dia pernah ke Nisabur dan menuntut ilmu pada ulama’ Mazhab Syafi’i,
Hibatullah al-Muwaffaq. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintahan Gaznawi di
Tus, Khurasan. Ketika sebagian besar Khurasan jatuh ke tangan pasukan
Salajikah, ayahnya dengan membawa Nizam al-Mulk lari ke Khusrawijrd dan
seterusnya ke Gazna. Di Gazna, Nizam al-Mulk bekerja pada sebuah kantor
pemerintah Mahmud Gaznawi.
Namun
tiga atau empat tahun kemudian ia meninggalkan Gazna dan menuju ke daerah
kekuasaan Salajikah. Pada mulanya ia bekerja di Balkh yang dikuasai Salajikah
(tahun 432 H/1040-1041 M), kemudian pindah ke Marw. Kariernya meningkat dengan
cepat sehingga ia ditarik ke istana Sultan Arp Arslan dengan perdana menterinya
Abu Ali Ahmad bin Syazan. Ketika perdana menteri ini meninggal dunia, Nizam
al-Mulk ditunjuk oleh Sultan sebagai perdana menterinya.
Dalam
jabatannya sebagai perdana menteri ini ia menunjukkan kecakapannya sebagai
negarawan yang terpercaya. Untuk memelihara stabilitas negara ia menasihatkan
Sultan agar memberi lapangan pekerjaan kepada pengungsi-pengungsi Turki yang
datang ke Persia (Iran) akibat kemenangan Dinasti Salajikah, dan meningkatkan
kekuatan tempur angkatan bersenjata Salajikah serta gerak cepatnya untuk
menumpas pemberontakan, tetapi pemberontak yang menyerah harus diampuni.
Kemudian dinasti juga harus mempertahankan penguasa-penguasa lokal, baik Syiah
maupun Sunni, dan menunjuk keluarga Bani Seljuk sebagai gubernur-gubernur.
Nizam al-Mulk juga bertindak menghindari perebutan kekuasaan setelah
meninggalnya sultan, dengan cara mengumumkan dan menunjuk Maliksyah sebagai
putra mahkota yang akan menggantikan sultan. Hubungan dengan Khilafah Abbasyiah
sebagai penguasa tertinggi dunia Islam ketika itu juga dijalin dengan baik oleh
Nizam al-Mulk sehingga ia mendapat penghargaan dari Khalifah al-Qa’im dari
Abbasyiah berupa gelar Qiwam ad-Din (Pendukung Agama) dan Radi Amir al-Mu’minin
(yang meridhai dan pemimpin orang-orang beriman).
Nizam
al-Mulk tetap menjadi perdana menteri Dinasti Salajikah, bahkan setelah Alp
Arslan terbunuh pada tahun 165 H/1072 M dan digantikan oleh Maliksyah. Perannya
pada masa Sultan Maliksyah bertambah besar dibanding sebelumnya. Ia dipercaya
oleh Sultan Maliksyah, yang ketika naik tahta berumur 18 tahun, untuk mengatur
pemerintahan dan menjalankan keputusan politik. Oleh Sultan ia diberi gelar Ata
Beq, artinya amir yang dianggap ayah. Ia tetap menjalankan politik kerjasama
dan taat kepada Khalifah Abbasyiah, diantaranya dengan mengawinkan sorang
putrinya kepada Khalifah Abbasyiah, ketika itu al-Muqtadi bin Amr Allah.
Nizam
al-Mulk juga dikenal sebagai perdana menteri yang berpaham Asy’ariyah dan
mengusahakan penyebarannya melalui madrasah-madrasah di beberapa kota dalam
wilayah Salajikah. Madrasah terkenal yang didirikannya adalah Madrasah
Nizamiyah di Baghdad, yang diresmikan pada tahun 459 H/1067 M. menurut Philip
K. Hitti, Madrasah Nizamiyah merupakan contoh awal dari perguruan tinggi yang
menyediakan sarana belajar yang memadai bagi para penuntut ilmu. Diantara
ulama’ yang mengajar di Madrasah Nizamiyah adalah Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi,
Syekh Abu Nasr bin as-Sabbagh dan Syekh Abu Mansur bin Yusuf bin Abdul Malik.
Cabang-cabang Nizamiyah kemudian juga didirikan di hampir kota di Irak dan
Khurasan.
Usaha
Nizam al-Mulk mendirikan madrasah dan lembaga keagamaan lainnya mendapat
dukungan dari ulama’-ulama’ yang bermazhab Syafi’i dan dalam teologi beraliran
Asy’ariyah. Para ulama tersebut bergembira dengan naiknya Nizam al-Mulk dan
kebijaksanaannya mengembalikan nama baik ulam-ulama Asy’ariyah yang dikutuk
oleh Perdana Menteri al-Kunduri pada masa Sultan Tugril Beq. Pada masa
al-Kunduri aliran Asy’ariyah bersama dengan Rafidah dikutuk melalui
mimbar-mimbar masjid, sehingga banyak ulama’ yang melarikan diri, seperti Imam
al-Haramain Abu Ma’ali al-Juwaini dan al-Qusyairi. Ulama-ulama baru mau kembali
ke negeri mereka setelah Nizam al-Mulk menjadi perdana menteri dan melarang pengutukan
Asy’ariyah di mimbar-mimbar masjid.
Disebutkan
dalam al-Kamil fi at-Tarikh (Sejarah Lengkap) bahwa Nizam al-Mulk adalah
seorang alim, agamawan, dermawan, adil, penyantun, suka memaafkan orang yang
bersalah, banyak diam, majelisnya ramai didatangi para qari, faqih, ulama dan
orang-orang yang suka kebaikan dan kebajikan. Ia juga dikatakan menyampaikan
hadits di Baghdad, Khurasan dan kota lainnya dengan alasan ikut berpartisipasi
menyebarkan hadits Nabi SAW, sekalipun ia mengakui bahwa ia bukan ahli hadits.
Dikatakan pula ia senang menjamu dan menghibur orang-orang fakir miskin. Pada
tahun 479 H (1086-1087 M) ia menghapuskan khumus (pajak yang tidak dikenai
sanksi syariat), dan meningkatkan sarana dan prasarana bagi mereka yang
menunaikan ibadah haji. Setelah Hedzjaz kembali kepada kekuasaan Abbasyiah dari
kekuasaan Fatimiyah pada tahun 468 H/1076 M, ia mengamankan jalur perjalanan
haji dari Irak ke Tanah Suci dengan memberantas perampok-perampok yang
mengancam jama’ah haji. Selain itu, ia memprakarsai perluasan Masjid al-Haram
di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah, serta pendirian tempat-tempat khusus
bagi para abid, zahid dan faqih, serta pendirian rumah sakit di Nisabur.
Setahun
sebelum meninggal, pada tahun 484 H/1091 M ia menulis kitab Siyaset-Name (buku
mengenai politik) tentang siasat p0emerintahan, berisi 50 bab nasihat yang
digambarkan melalui anekdot-anekdot sejarah. Pada tahun berikutnya, ia menambah
11 bab tentang bahaya yang mengancam negara utamanya dari kaum Qaramithah
Ismailiyah. Ia mengingatkan bahaya yang mengancam keutuhan Salajikah yang
datang dari kaum Qaramithah yang pada tahun 483 H (1090-1091 M) menyerbu kota
Basra, dan bermarkas di benteng yang kokoh di Alamut. Kaum ini mempunyai
pasukan pembunuh yang disebut Hasyasyin dan dipimpin oleh Hasan bin
Sabbah, yang bertujuan menghidupkan Fatimiah. Seorang pasukan Hasan bin Sabbah,
yang menyamar sebagai sufi, berhasil membunuh Nizam al-Mulk di Sihna, Nahawand,
ketika ia dalam perjalanan dari Isfahan ke Baghdad. Nizam al-Mulk terbunuh pada
tanggal 10 Ramadhan 485 H/14 Oktober 1092.[2]
B.
Sejarah Madrasah Nizamiyah
Sebelum
berdirinya Madrasah Nizamiyah di Baghdad, paling tidak ada empat madrasah besar
di Nishapur, yaitu Madrasah Baihaqiyyah, Madrasah Assa’diyyah yang dibangun
oleh Amir Nasr bin Subuktakin, Madrasah Abu Sa’ad al-Astarabadi dan Madrasah
yang didirikan untuk Abu Ishaq al-Isfarayini. [3]
Madrasah
Nizamiyah adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan pada tahun 1065-1067
oleh Nizam al-Mulk. Madrasah Nizamiyah ini pada mulanya hanya ada di kota
Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu itu. Madrasah
Nizamiyah ini didirikan dekat pinggir sungai Dijlah, di tengah-tengah pasar
selasah di Baghdad. Mulai dibangun pada tahun 457 H/1065 M) dan selesai
dibangun pada tahun 459 H (dua tahun lamanya baru selesai).[4] Pada masa itu, madrasah tersebut
dicatat sebagai tempat pendidikan yang paling masyhur. Kemudian Nizam al-Mulk
mengembangkan madrasah tersebut dengan membuka dan mendirikan madrasah serupa
di berbagai kota, baik di wilayah barat maupun timur dari daerah kekuasaan
Islam. Diantaranya didirikan di kota-kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mosul, Basra
dan Tibristan. Oleh karena itu, kota-kota tersebut kemudian menjadi pusat-pusat
studi keilmuan dan menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu. Para pelajar
berdatangan dari berbagai daerah untuk mencari ilmu di madrasah-madrasah
Nizamiyah tersebut. Kesungguhan Nizam al-Mulk dalam membina madrasah-madrasah
yang didirikannya itu tercermin pada kesediaannya menyisihkan waktunya untuk
melakukan kunjungan ke madrasah-madrasah Nizamiyah di berbagai kota tersebut.
Disebutkan, bahwa dalam kesempatan kunjungannya tersebut, ia dengan penuh
perhatian ikut menyimak dan mendengarkan kuliah-kuliah yang diberikan,
sebagaimana ia juga kadang ikut mengemukakan pikiran-pikirannya di depan para
pelajar di madrasah itu.
Lembaga
pendidikan Islam yang pertama menerapkan sistem yang mendekati sistem
pendidikan yang dikenal sekarang adalah madrasah-madrasah Nizamiyah tersebut.
Kurikulumnya berpusat pada Al-Qur’an (membaca, menghafal dan menulis), sastra
Arab, sejarah Nabi SAW dan berhitung, dengan menitikberatkan pada madzhab
Syafi’i dan sistem teologi Asyariyah. Seorang tenaga pengajar di Nizamiyah
selalu dibantu oleh dua orang pelajar (mahasiswa) yang bertugas membaca dan
menerangkan kembali kuliah yang telah diberikan kepada mahasiswa yang
ketinggalan (asistensi). Sistem belajar di Madrasah Nizamiyah adalah : tenaga
pengajar berdiri di depan ruang kelas menyajikan materi-materi kuliah, sementara
para pelajar duduk dan mendengarkan di atas meja-meja kecil (rendah) yang
disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan dialog (tanya-jawab) antara dosen dan
para mahasiswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan
tinggi.
Status
dosen di madrasah tersebut ditetapkan berdasarkan pengangkatan dari khalifah
dan bertugas dengan masa tertentu. Untuk menunjukkan betapa madrasah ini
mencoba mengembangkan diri menjadi suatu lembaga pendidikan yang lebih sesuai
dengan tuntutan zaman. Sesudah Nizam al-Mulk membuka madrasah-madrasah
Nizamiyah di banyak kota, ia menetapkan untuk memberi gaji setiap bulan bagi
setiap tenaga pengajar di madrasah-madrasah tersebut. Namun kebijaksanaan Nizam
al-Mulk tentang gaji tersebut belum bisa diterima oleh para tenaga pengajar di
Madrasah Nizamiyah. Mereka lebih suka tanpa digaji tetapi kesejahteraan
hidupnya terjamin. Bagi para dosen gagasan untuk menggaji guru pada masa itu
dipandang sebagai suatu gagasan yang terlalu maju.
Diantara
kekuatan Madrasah Nizamiyah adalah bahwa madrasah tersebut mendapat pengakuan
negara. Madrasah Nizamiyah telah mencatat nama-nama besar dan orang-orang yang
mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar. Di antara mereka adalah :
1.
Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, seorang
faqih Baghdad
2.
Syekh Abu Nasr as-Sabbagh
3.
Abu Abdullah at-Tabari
4.
Abu Muhammad asy-Syirazi
5. Abu Qasim al-Alawi
6. at-Tibrizi
7. al-Qazwini
8. al-Fairuzabadi
9. Imam al-Haramain Abdul Ma’ali al-Juwaini
10. Imam al-Ghazali [5]
C. Profil Dosen Nizamiyah, Abdul Ma’ali Al-Juwaini
Sang ‘Cahaya Agama’
Dia sebagai guru besar di Madrasah Nizaminah, tempat di mana Imam
al-Ghazali pernah menimba ilmu. Ia dijuluki Imam Haramain karena pernah tinggal
di dua kota suci, Makkah dan Madinah.
Ulama ini bernama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad
Al-Juwanini An-Nisaburi. Dia dilahirkan di Bustanikan, Nisabur, pada 12
Pebruari 1058. Pendidikan pertamanya didapatkan dari ayahnya yang bernama Syekh
Abdullah, seorang keturunan Arab berdarah bangsawan. Di samping itu, Al-Juwaini
juga menimba ilmu di sekolah agama yang berada di wilayah tempat tinggalnya.
Setelah beberapa lama, Al-Juwaini memutuskan untuk meninggalkan Nisabur dan
pergi ke Baghdad, terutama untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Di sana ia pun
menerima pengajaran ilmu agama dari beberapa ulama terkemuka. Berkat bimbingan
para guru dan keinginannya untuk maju, Al-Juwaini tumbuh menjadi seorang terpelajar
yang menguasai beberapa ilmu.
Setelah beberapa tahun tinggal di kota ilmu itu, ia lalu pindah ke Makkah
serta Madinah, selain untuk menambah bekal ilmu juga mulai mengajar. Selama
lebih kurang empat tahun Al-Juwaini menetap di dua kota suci tersebut.
Nama Al-Juwaini lambat laun dikenal di kalangan ulama dan pengajar ilmu
agama di Makkah serta Madinah. Ini lantaran ditunjang kemampuan penguasaan
keilmuaannya yang mumpuni. Hingga selanjutnya, namanya sampai ke telinga
Perdana Menteri Nizam al-Mulk, penguasa dan pendiri Madrasan Nizamiyah di
Nisabur, tempat kelahirannya.
Secara pribadi, Nizam al-Mulk meminta kesediaan Al-Juwaini untuk kembali ke
negerinya dan menjadi tenaga pengajar di madrasah tadi. Permintaan ini pun
disanggupi oleh Al-Juwaini sebagai bentuk sumbangsihnya dalam memajukan
pendidikan di negeri sendiri.
Madrasah Nizamiyah pun kian diperhitungkan di kalangan terpelajar Timur
Tengah. Terlebih ketika Imam al-Ghazali diketahui pernah menimba ilmu di sana
dan tercatat merupakan lulusan perguruan ini yang diasuh Juwaini.
Pemuka ulama ahlusunnah wal jamaah dan pengikut Imam Abu Hasan
al-Asy’ari ini juga disebut Abdul Ma’ali untuk menunjukkan keutamaannya sebagai
ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Diya ad-Din, yang berarti
cahaya agama adalah gelar lain yang diberikan kepada al-Juwaini karena
kelebihannya dalam menerangi hati dan pikiran para pembela akidah Islam, yang
karenanya menangkis serangan para pengikut golongan sesat yang telah terjerumus
dalam kegelapan.
Al-Juwaini juga menonjol di kalangan ulama Asy’ariyah karena memiliki
metode yang khas dalam membela paham Sunni. Dia berpendapat, akidah yang benar
adalah yang didasarkan pada akal dan naql serta kombinasi antara
keduanya.
Akal itu cahaya Allah yang sifatnya fitrawi sebagai tanad kecintaan Allah
kepada kepada manusia dan untuk menjadi media bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan an-naql
adalah semata-mata perkara daya serap pendengaran yang wajib diyakini
kebenarannya tanpa memerlukan pembuktian akal atasnya. Karena pendiriannya
tersebut, Al-Juwaini banyak disebut sebagai generasi keempat dari pemuka dan
ulama Asy’ariyah, sejajar dengan Al-Baghdadi dan Abu Qasim Abdul Karim
al-Qusyairi.
Pandangannya bahwa akal dan penalaran akan sanggup mengantar manusia kepada
keyakinan mantap membawanya pada pendirian bahwa penggunaan penalaran dalam
soal agama adalah wajib menurut syarak. Karena kekhasan metodenya itu pula maka
ia tidak selalu mengikuti pendapat para pendahulunya, sampai Imam Abu Hasan
Asy’ari sekalipun.
Di samping sebagai pengajar dan ahli ilmu agama, Al-Juwaini adalah pula
seorang penulis yang produktif. Pandangan dan pendapatnya mengenai suatu
persoalan agama kerap diungkapkannya dalam bentuk karya tulis. Tercatat, sudah
puluhan buku serta karya ilmiahnya yang sudah dihasilkan meliputi beberapa
cabang keilmuan.
Ulama ini meninggal dunia di Bustanikan pada tanggal 20 Agustus 1085.
Sampai akhir hayatnya, ia dikenal sebagai pakar ilmu fikih, ushul fikih, dan
ilmu kalam. Kitab karyanya tetap dipelajari hingga saat ini.
Kitab-kitab
Karya Al Juwaini
Ushul fikih
* Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Argumentasi dalam Usul Fikih) * Al-Waraqat (Sehelai Kertas)
Fikih
* Nihayat al-Matlab fi Dirayat al-Mazhab (Rujukan yang Tuntas dalam Ilmu Mazhab)
Ilmu kalam
* Al-Kamil fi-Ikhtisar asy-Syamil (Kitab yang Sempurna dalam Ikhtisar yang Mencakup)
* Risalah fi Usul ad-Din (Risalah Tentang Dasar Agama)
* Nizamiyah fi al-Arkan al-Islamiyah (Sistematika Rukun-Rukun Islam).[6]
Ushul fikih
* Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Argumentasi dalam Usul Fikih) * Al-Waraqat (Sehelai Kertas)
Fikih
* Nihayat al-Matlab fi Dirayat al-Mazhab (Rujukan yang Tuntas dalam Ilmu Mazhab)
Ilmu kalam
* Al-Kamil fi-Ikhtisar asy-Syamil (Kitab yang Sempurna dalam Ikhtisar yang Mencakup)
* Risalah fi Usul ad-Din (Risalah Tentang Dasar Agama)
* Nizamiyah fi al-Arkan al-Islamiyah (Sistematika Rukun-Rukun Islam).[6]
D. Perkembangan dan Strategi Madrasah Nizamiyah
Hal yang membuat lembaga-lembaga pendidikan Madrasah Nizamiyah signifikan
dalam sejarah Islam adalah bahwa mereka semua penganut mazhab Syafi’iyyah dan
berada di Nishapur, sebuah tempat penting untuk memahami kerangka politik,
khususnya yang berhubungan dengan konflik internal Sunni antara Syafi’iyyah dan
Hanafiyyah. Dua kelompok besar ini merupakan gerakan keagamaan yang paling
berpengaruh di Nishapur pada paro pertama abad ke-11. sejarawan ahli masa
klasik dan pertengahan dari Amerika, Bulliet, menyebut mereka sebagai
tokoh-tokoh yang meramaikan Nishapur selama dua abad. Ini tidak berarti bahwa
kelompok Qarramiyyah (Qaramithah), Syiah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah tidak
mempunyai peran.[7] Pemberian
perhatian khusus kepada dua raksasa itu berdasarkan alasan bahwa keduanya telah
memainkan peran penting dalam bernegosiasi dengan pemerintah pusat Baghdad.
Bajkan, al-Kunduri, salah seorang wazir Seljuk sebelum Nizam al-Mulk terkenal
sebagai penganut Hanafiyyah yang congkak. Adapun Nizam al-Mulk, wazir Seljuk
yang terbesar dan termasyhur terkenal sebagai Syafi’iyyah tulen.
Ada beberapa petunjuk yang memperlihatkan konflik mereka. ‘Asabiyyah
atau ta’assub yang berarti fanatisme pada ajaran khusus keagamaan mereka
bukanlah hal yang baru di dunia Islam, baik pada abad ke-10 maupun pada abad
ke-11. ‘Abd ar-Rahman as-Sabuni dihukum mati tahun 900 H atas dasar fanatisme
mazhab. Kecenderungan semacam ini juga bisa ditemukan dalam kelompok
Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Mereka berkompetisi dalam memperoleh posisi
keagamaan di pemerintahan, yakni sebagai qadli, shaikh al-Islam, juga
dalam mendirikan madrasah-madrasah untuk mempersiapkan ulama-ulama masa
depannya.
Jarangnya terjadi pernikahan antarmereka juga merupakan point penting yang
mempertajam ketegangan. Bisa dipahami bahwa perkawinan antarkelompok pada
dasarnya berpotensi meredam konflik, menyebabkan transfer kekayaan, kekuatan
dan nilai-nilai sosial keagamaan yang paling asasi. Tatkala perkawinan
antarkelompok ini hilang dari sebuah komunitas yang heterogen seperti yang
terjadi dalam panggung sejarah ini, mudah diterka bahwa kohesi sosial dalam
keragaman mazhab menjadi kurang solid.
Konflik ini lebih jelas bila disepakati bahwa semua Syafi’iyyah adalah
Asy’ariyyah yang akan menjadi aliran teologi terpenting di hari kemudian.
Kelompok yang terakhir ini tidak hanya berhadapan dengan Mu’tazilah, tetapi
juga bersitegang dengan Hanbaliyyah pada abad ke-11. pada abad ini Asy’ariyyah
agaknya berhasil mengakhiri pengaruh Mu’tazilah. Dua abad sebelumnya, ketika
pengaruh Mu’tazilah demikian besar, al-Mutawakkil (salah seorang Khalifah
Abbasyiah Baghdad 232 H/847 M) menghukum mereka secara dahsyat. Al-Juwaini dan
al-Ghazali (meninggal 1111 M)[8]
adalah dua contoh utama pendukung Ash’ariyyah yang berhasil mengasingkan
ide-ide Mu’tazilah di masyarakat.
Kembali ke faksi Sunni, sesungguhnya faksi itu lebih merupakan masalah
manajemen pertentangan yang ada antarkelompok. Pada tingkat tertentu polaritas
ini memburuk karena perpanjangan penguasa. Karena Nishapur merupakan daerah
subur, berpenduduk banyak dan beberapa ulama penting ada di situ, pemerintah
pusat di Baghdad memberikan perhatian khusus terhadap daerah ini. Tatkala Nishapur
dibawah pemerintahan Ghaznawiyah sebelum jatuh selamanya ke tangan Seljuk tahun
1039 M, patronasi (patronage) penguasa berganti-ganti antara Hanafiyyah
dan Qarramiyyah. Aliansi temporer ini terus berlangsung selama pemerintahan
Seljuk. Hanafiyyah dan Syafi’iyyah adalah dua kekuatan utama yang bersaing
dalam merebut simpati pemerintah. Pada tahun 1048 M persekusi resmi terhadap
Syafi’iyyah oleh al-Kunduri, wazir Seljuk, dimulai. Mulai tahun ini sampai
meninggalnya al-Kunduri (1064 M), yang dihukum mati secara rahasia karena
kesalahannya menentang pengganti Tugril Beg, Alp Arslan, NAishapur didominasi
oleh Hanafiyyah dengan intens.
Dari segi kemampuan politik strategis, al-Kunduri terlalu lemah jika
dibandingkan dengan Nizam al-Mulk. Al-Kunduri tidak pernah berestimasi bahwa
persekusinya terhadap Syafi’iyyah akan menghasilkan “musuh-musuh besar” di
kemudian hari, seperti Imam al-Haramayn dan Abu Sahl Muhammad bin Imam
al-Muwaffaq.
Seperti al-Kunduri, Nizam al-Mulk juga memanfaatkan rivalitas yang ada diantara
faksi-faksi. Perbedaannya adalah kecermatan Nizam dalam mendekati masalah dan
estimasinya yang brilian. Tidak diragukan lagi bahwa Nizam cerdik-cendekia dan
bijak dalam menyelesaikan setiap persoalan. Karyanya mengenai
persoalan-persoalan pemerintahan yang bias kit abaca sampai sekarang merupakan
salah satu buktinya. Selama 20 tahun pemerintahan Maliksyah, kekuasaan Nizam
benar-benar mutlak. Dialah penguasa riil di Kerajaan Seljuk, sebuah posisi yang
juga diidam-idamkan oleh al-Kunduri tetapi ia gagal meraihnya.
Pada hari kemenangan Nizam al-Mulk, keputusan sepenuhnya berada di
tangannya. Sebagai politisi yang bijak dan ulung, dia memilih cara memeperoleh
simpati masyarakat dengan cara memperbanyak Madrasah Nizamiyah, memanfaatkan
ulama-ulama Syafi’iyyah dan memperkuat institusi-institusi Syafi’iyyah secara
umum. Apa yang ia lakukan ternyata berbuah besar. Beberapa ulama
Syafi’iyyah-Ash’ariyyah abad ini, seperti Imam Haramayn dan Imam al-Ghazali
memberikan sumbangan besar terhadap lembaga-lembaga pendidikannya. Dia
mendirikan begitu banyak madrasah dari Khurasan di timur hingga Syria dan
Mesopotamia di barat. Imam al-Haramayn bukan hanya memiliki otoritas besar di
Madrasah Nizamiyah Khurasan, yakni madrasah yang dipercayakan sepenuhnya oleh
Nizam al-Mulk kepadanya, melainkan juga menjadi khatib yang disegani di
Nishapur. Sebagian besar posisi penting keagamaan di pemerintahan dipegang para
ulama Syafi’iyyah-Asy’ariyyah, sedangkan posisi yang kurang penting dipegang
oleh Hanafiyyah. Disebabkan madrasah yang berkembang pesat dan penurunan pajak
rakyat, aghniya’ (jutawan dermawan) dengan tulus mendukung proyek
madrasah dengan sumbangan mereka yang berupa sedekah dan wakaf. Ini berarti
bahwa madrasah-madrasah yang didirikan Nizam dengan mantap disponsori oleh
penguasa dan rakyat.
Dengan demikian, gerakan-gerakan madrasah ini bias dipandang sebagai upaya
reaksi terhadap gerakan Syi’ah yang sebagian besar di barat, terutama di Mesir
(Universitas Al-Azhar), atau dilihat sebagai upaya untuk mengimbangi rekayasa pendidikan
yang dilancarkan sebelumnya oleh Hanafiyyah di Nishapur. Tetapi yang jelas
rekayasa pendirian madrasah-madrasah di bawah kekuasaan Nizam itu merupakan
symbol kemenangan Sunni sekaligus sebagai buah yang dipetik oleh wazir besar
Nizam al-Mulk atas keberhasilannya dalam menangani konflik-konflik interen
dalam masyarakat.[9]
E. Tujuan Madrasah Nizamiyah
Madrasah ini boleh dilihat sebagai suatu reaksi terhadap gerakan Syiah di
Arab belahan barat atau juga terhadap rekayasa lembaga pendidikan Hanafiyyah
yang sudah mapan sebelumnya di Nishapur. Betapa pun, berdirinya Madrasah
Nizamiyah merupakan satu symbol kemenangan Sunni dan juga merupakan salah satu
cara manis Nizam al-Mulk dalam menangani konflik-konflik intrernal masyarakat
yang ada.
Berdasarkan asumsi ini, tidaklah berlebihan jika disimpulkan lebih jauh
bahwa tujuan madrasah ini paling tidak mempunyai dua point, yakni untuk
memperkuat idiologi Syafi’i-Asy’ari di satu sisi dan membendung serangan dari
pihak lain, seperti dari Hanbaliyyah, Hanafiyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah di sisi
lain. Untuk mendukung roda pemerintahan Nizam adalah satu kemungkinan, tetapi
hal itu tampaknya lebih merupakan strategi Nizam sendiri daripada tujuan
madrasah sebagai sebuah lembaga.
Bagaimana lembaga pendidikan ini mendorong ajaran-ajaran Syafi’i-Asy’ari
terbukti dengan hadirnya sejumlah tokoh kenamaannya, seperti Abu Ishaq
al-Shirazi, al-Ghazali dan tokoh-tokoh shaleh lainnya. Di samping satu pusat
Madrasah Nizamiyah di Baghdad, paling tidak masih ada 9 Madrasah Nizamiyah
lainnya yang tersebar dari Jazirah ibn Umar sampai ke Nishapur.[10] Keberhasilan pengajaran
madrasah-madrasah ini bias diketahui dari laporan Abu Ishaq al-Shirazi yang
menyatakan bahwa selama melakukan perjalanan dari Baghdad sampai Khurasan, ia
menemukan semua murid-muridnya (Syafi’iyyah) sudah menduduki jabatan-jabatan
penting, seperti qadli, mufti atau khatib.[11]
Madrasah Nizamiyah di Nishapur dibangun untuk ulama kenamaan Juwayni, Imam
al-Haramayn. Tokoh Syafi’i-Ash’ari ini menjadi lebih radikalkarena dia pernah
diasingkan oleh al-Kunduri. Juwayni, tokoh sentral MAdrasah Nizamiyah Nishapur,
adalah contoh menarik untuk memahami bagaimana madrasah ini bertujuan
mempertahankan ajaran-ajaran Ash’ariyyah. Kritiknya yang tajam terhadap etika
Mu’tazilah dapat dibaca dalam kitabnya al-Irshad ila Qawati’ al-Adilla fi
Ushul al-I’tiqad. Masih menjadi tanda Tanya apakah Madrasah Nizamiyah
Nishapur dan Baghdad identik, serta apakah karyanya tersebut merupakan
representasi institusinya atau hanya ide-ide pribadinya. Tetapi, yang jelas ada
hubungan definitive antara dua lembaga itu, juga posisinya sebagai orang
pertama di madrasah ini tentunya berpengaruh besar terhadap potret lembaga
tersebut.[12]
Al-Ghazali adalah contoh lain yang menraik untuk memahami bagaimana
madrasah ini tidak hanya menyensor Mu’tazilah, tetapi juga filsuf. Kehadirannya
di Madrasah Nizamiyah Baghad begitu lama (sekitar 25 tahun) sehingga tidak
diragukan lagi bahwa dia memberi corak tersendiri terhadap lembaga ini.
Absennya ilmu-ilmu non agama di lembaga ini, yang dipegang kuat oleh Mu’tazilah
dan para filsuf, barangkali tidak disebabkan oleh sosok al-Ghazali karena ia
datang terlambat. Tetapi, pengabaian terhadap ilmu-ilmu sekuler adalah tipikal
bagi madrasah ini, persis dengan apa yang dilakukan al-Ghazali di akhir
hayatnya. Betapapun, guru adalah sebuah personifikasi dari sebuah lembaga dalam
masyarakat tradisional. Dengan demikian, sulitlah membedakan antara guru yang
benar-benar fungsional dengan madrasah itu sendiri.
Madrasah ini secara otomatis juga melindungi idiologinya dari pengaruh
Syiah. Hal ini ma’qul karena pada masa yang sama Dinasti Fatimiyah di
Mesir sedang berjaya, juga dakwah militant dari Isma’iliyyah ada di mana-mana,
salah satu dakwahnya menggunakan media pendidikan dengan mendirikan universitas
Al-Azhar.
F. Kurikulum Madrasah Nizamiyah
Telah disebutkan bahwa apa yang diajarkan di Madrasah Nizamiyah masih
terbuka untuk didiskusikan. Ciri-cirinya yang telah diulas singkat itu akan
menentukan kurikulumnya. Keterlibatan Imam Haramayn di Madrasah Nizamiyah
Nishapur merupakan bukti kuat bahwa ajaran-ajaran Ash’ariyyah diajarkan di
situ. Bahkan, nama Abu al-Hasan Ash’ari terpampang di pintu lembaga-lembaga
pendidikan yang didirikan oleh Nizam.[13]
Disamping fiqih dan tauhid, cabang-cabang ilmu agama yang lain, seperti ushul
fiqh, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits Nabi, akhlaq, sangat mungkin sekali
diajarkan di situ. Alasannya adalah bahwa setiap muslim wajib, fard al-’ain,
mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Imam al-Ghazali menekankan pentingnya kewajiban
ini dalam karyanya Ihya al-’Ulum al-Din. Masuk akal bahwa al-Ghazali
mengalamatkan kewajiban belajar kepada siswa-siswanya di Baghdad karena dia
menulis beberapa bukunya sambil mengajar di madrasah itu. Masuk akal juga bahwa
cabang-cabang ilmu agama yang lain, seperti nahwu, sharaf, adab (literature)
juga disajikan di situ meskipun ilmu-ilmu itu hanya sebagai pelengkap.
Agaknya Madrasah Nizamiyah mempunyai kurikulum yang menekankan supremasi
fiqih. Semua cabang ilmu agama yang lain diperkenalkan dalam rangka menopang
superioritas dan penjabaran hokum Islam. Pendidikan serba fiqih adalah cirri
yang menonjol dalam pendidikan Sunni muslim abad ke-11. sebagaimana yang
terungkap dalam sejarah, pola pendidikan semacam ini terus berlanjut dari abad
ke abad. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Madrasah Nizamiyah
benar-benar menjadi model pendidikan madrasah pada masa klasik dan pertengahan
Islam.[14]
G. Keruntuhan Madrasah Nizamiyah
Madrasah Nizamiyah sedikit demi sedikit mengalami kemunduran setelah
wafatnya Nizam al-Mulk. Madrasah yang sistem pendidikan dan organisasinya
ditiru di Eropa ini sempat berjaya sampai akhir abad ke-14, ketika Timur Lenk
menghancurkan Baghdad. Timur lenk dengan bala tentaranya menyerbu
kota Baghdad dan menghancurkan segala peradaban serta membantai ribuan orang di
wilayah yang ditaklukkannya. Baghdad hancur lebur sekitar tahun 1393 M.[15]
III. KESIMPULAN
1. Madrasah Nizamiyah adalah madrasah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk untuk
mendidik penduduknya serta dan untuk menyebarkan paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah
serta memperkuat posisi politiknya sebagai wazir.
2. Madrasah ini didukung oleh para ulama terkenal dan termasyhur pada
zamannya, bahkan sampai sekarang.
3. Madrasah Nizamiyah menjadi inspirasi madrasah-madrasah Islam zaman sekarang
serta merupakan prototype fakultas-fakultas yang sekarang banyak ditiru di
lembaga pendidikan zaman sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, 2002, Menggagas Format Pendidikan
Nondikotomik, Yogyakarta : Gama Media.
Al-Subki, 1964, Tabaqat al-Shafi’iyya al-Kubra, vol III,
Kairo.
Badri Yatim, Dr, M.A, 2000, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, 2002, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10,
Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
M. Faruqi, The
Development of the Institutions of Madrasa and the Nizamiyya of Baghdad,
Islamic Studies, vol. 26, musim gugur 1987.
http://www.republika.co.id/koran/153/31656/Keunggulan_Pendidikan_I_Nizhamiyah_I
http://indo-zahra.blogspot.com/2009/03/madrasah-madrasah-nizamiyah.html
http://www.republika.co.id/berita/33877/Abdul_Ma_ali_Al_Juwaini_Sang_Cahaya_Agama
[1] . http://www.republika.co.id/koran/153/31656/Keunggulan_Pendidikan_I_Nizhamiyah_I
[2]. Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal 44-45
[3] .
Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta
: Gama Media, 2002), hlm. 101
[4].
http://indo-zahra.blogspot.com/2009/03/madrasah-madrasah-nizamiyah.html
[5] . Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta :
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal 44-45.
[6].
http://www.republika.co.id/berita/33877/Abdul_Ma_ali_Al_Juwaini_Sang_Cahaya_Agama
[7].
Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta
: Gama Media, 2002), hlm. 101
[8] . Beliau
adalah muallif karya-karya besar dan popular yang lahir di kota Thus, sebuah
kota di Khurasan Persia tahun 450 H/1054 M.
[9] .
Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta
: Gama Media, 2002), hlm. 106
[10] . M.
Faruqi, The Development of the Institutions of Madrasa and the Nizamiyya of
Baghdad, Islamic Studies, vol. 26, musim gugur 1987, hlm. 258
[11]. Lihat
al-Subki, Tabaqat al-Shafi’iyya al-Kubra, (Kairo, 1964) vol III, hlm. 89
[12].
Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, op.cit, hlm. 107-108
[13] . lihat al-Faruqi, op.cit., hlm. 260
[14]. Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, op.cit, hlm. 109-113
[15]. Lihat Badri Yatim, Dr, M.A, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000) hlm. 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar