Oleh : M. Arifuddin*
Mbah Rumini adalah seorang janda 68 tahun. Ia tinggal
di debuah panti jompo di tempat tinggalnya,
yaitu di desa Madani. Mbah Rumini bekerja sebagai juru masak di salah
satu rumah makan di desanya. Gajinya tidak besar, tapi cukup menghidupi dirinya
yang tingggal sebatangkara. Bahkan ia masih bisa menabung dari gajinya
tersebut, setelah dipotong untuk keperluan sehari-hari.
Mbah Rumini punya cita-cita besar, ia ingin
naik haji. Sebenarnya cita-citanya itu sudah lama bersemanyam di hati dan
pikirannya. Bahkan cita-cita itu hampir tercapai. Tapi sayang, takdir berkata
lain. Ketika itu musibah datang menimpa keluarga mbah Rumini.
Suatu hari
ketika keluarga mbah Rumini sedang sibuk memersiapkan hajatan untuk keberangkat
hajinya, tiba-tiba terjadi gempa bumi berkekuatan 10,5 SR dengan kedalaman 5 KM
lokasi 2,4LU 92,99BT. menggoncang desa Madani. Tak dipungkiri gempa tersebut
telah memporak-poradakan desa Madani.
Setelah lima
belas menit pasca gempa, datanglah tim SAR melakukan evakuasi di lokasi gempa.
Dari evakuasi yang dilakukan tim SAR yang dibantu oleh warga setempat yang
masih selamat, terdata ada sepuluh korban jiwa, lima luka ringan dan satu
mendapatkan perawatan khusus.
Bencana ini
membuat mbah Rumini sangat terpukul. Karena cucu kesayangannya harus meninggal
di depan matanya. Ketika itu sang cucunya tertindih reruntuhan tembok. Tetapi
ketika itu Mbah Rumini tidak dapat berbuat apa-apa. Karena saat itu kaki
kirinya tertimpa reruntuhan tembok.
Sehingga kaki kirinya patah dan membuatnya pincang sampai sekarang.
Sang cucunya
hanya bisa berteriak,”Mbah…Mbah…Mbah…”, hingga suara itu semakin mengecil dan
kemudian menghilang. Setelah itu mbah Rumini hanya bisa meneteskan air mata dan
menyesali akan takdir yang menimpa cucunya.
Hari demi hari
Mbah Rumini tinggal di penampungan korban gempa tersebut dan tanpa disadari
sedikit demi sedikit tabungan Mbah Rumini berkurang untuk mengobati kaki
kirinya yang patah. Tapi Mbah Rumini tak pernah putus asa untuk menggapai cita-citanya,
berhaji ke Baitullah.
* * *
Malam itu Mbah
Rumini tidak bisa memejamkan matanya. Padahal malam itu terasa sangat dingin
dan tenang serta jam dinding menunjukan jam 24.00 WIB. Berbagai cara dilakukan
Mbah Rumini untuk memjamkan matanya. Mulai dengan menenangkan pikiran dengan
berwudhu bahkan ia sempatkan untuk mmbaca al-Qur’an dua halaman serta shalat
dua raka’at. Setelah merasa tenang, barulah Mbah Rumini mencoba merebahkan
badanya di atas tikar butut peninggalan almarhum suaminya. Baru saja Mbah
Rumini akan memejamkan matanya, tiba-tiba ada suara aneh yang memangginya.
“Mbeh…Mbeh….Mbehh…..”
Jika didengar
dengan saksama, suara itu mirip dengan suara orang yang tercekik. Dan tanpa
memedulikan rasa takut yang dirasakan oleh Mbah Rumini, suara itu terus saja
memanggil dirinya tanpa henti. Padahal Mbah Rumini baru saja akan memejamkan
matanya.
Suara itu tidak
hanya membuat takut Mbah Rumini saja, tapi seluruh penghuni panti jompo Darul Tsaiyyib ketakutan. Saking
takutnya mereka dengan suara itu, sehingga Mbah Rumini menjadi ‘terdakwa’
penyebab datangnya suara itu. Tuduhan itu sangat beralasan, karena ketika
terjadi gempa di desa Madani delapan tahun silam, Mbah Rumini tidak menolong
cucunya yang tertindih tembok. Padahal ia ada di depanya.
“Mbah Rumini…!!
Cepat suruh pergi cucumu itu dari sini, jangan membuat kami takut,” kata Mbah
Iyem yang kebetulan sekamar dengan mbah Rumini.
Tak berhenti
disitu saja, Bu Tumikro selaku kepala panti jompo Darul Tsaiyyib juga ikut
ketakutan. Terlihat dari raut wajahnya yang pucat dan bercucuran keringat.
Kemudian Bu Tumikro berkata “Sudahlah Mbah Rumini, cepatlah kau suruh pergi
jauh cucumu itu. Jangan menggangu kami seperti ini, karena alam kita berbeda.”
Dengan perasaan
bimbang Mbah Rumini pun berkata, ”Baiklah…! Kalian tidak usah takut, karena
cucuku tidak akan menggangu kalian. Karena dia sudah meninggal dan tidak akan
hidup kembali.” kata Mbah Rumini menenangkan penghuni panti jompo tersebut.
Sungguh, sebenarnya Mbah Rumini amat-sangat ketajutan ketakutan.
Ajaib, dari
perkataan Mbah Ruini tadi, para penghuni panti tidak ketakutan lagi. Akhirnya
para penghuni kamar panti jompo Darul Tsaiyyib dapat memejamkan matanya
kembali. Tapi lain halnya dengan mbah Rumini sendiri. Ia tidak bisa memejamkan
matanya karena suara itu terus memanggil dirinya. Untuk menghilangkan rasa
takut tersebut, Mbah Rumini membaca ayat Kursi dan tiga Qul serata ditambah
dengan do’a-do’a yang dihafalnya ketika di TPA dulu.
* * *
Tak terasa
waktu menunjukan pukul 02.00 WIB. Tetapi suara itu tidak kunjung hilang.
Padahal mulut Mbah Rumini sudah berbusa karena membaca ayat-ayat al-Qur’an yang
dihafalnya ketika di Madrasah Aliyah dulu. Karena tidak kuat menahan matanya
yang tinggal ‘lima watt’, akhirnya Mbah Rumini tertidur juga. Seiring dengan
itu, suawara lenakutkan tersebut semakin mengecil.
Belum lama Mbah
Rumini terlelap, suara adzan subuh pun berkumandang. Sehingga membuat Mbah
Rumini terbangun dari tidurnya. Kemudian berwudhu dan menunaikan shalat Subuh.
Tapi alangkah terkejutnya Mbah Rumini karena ia masih mendengar suara aneh itu
masih memanggilnya. Sekalipun suara itu sudah mengecil bahkan hampir tak
terdengar.
Langit sudah
terlihat cerah dan jam pun menunjukan jam 06.45 WIB, tapi suara itu masih tetap
memanggilnya. Dengan hati yang berdebar Mbah Rumini memberanikan diri untuk
mencari sumber suara itu. Alangkah terkejutnya Mbah Rumini ketika mendapati
sumber suara itu dan ternyata suara itu hanyalah suara kambing yang lehernya
tercekik oleh tali yang mengikatnya. Mbah Rumini pun menolong kambing itu
dengan melonggarkan tali yang mengikatnya.
Akhirnya Mbah Rumini
dapat menyimpulkan bahwa suara yang tadi malam terdengar itu hanyalah suara
seekor kambing yang tercekik. Sehingga bunyi suara kambing menjadi
”Mbeh…Mbeh….Mbehh…..” Dan bukan suara cucunya.
Setelah
menyelamatkan kambing tadi, Mbah Rumini menceritakan kepada penghuni panti
jompo yang lain, bahwa sumber suara yang tadi malam membuat mereka ketakutan
adalah suara kambing yang tercekik. Sepontan saja mereka tertawa terbahak-bahak
ketika mendengar cerita Mbah Rumini tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar